Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

[laudatosi] Tangisan Bumi dan Panggilan Pertobatan

13 September 2025   07:58 Diperbarui: 13 September 2025   09:04 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: keuskupanpadang)

Bencana tidak dimulai di hutan yang gundul.
Ia dimulai di hati yang haus akan lebih.
Lebih uang. Lebih cepat. Lebih banyak. Lebih baru.

Itulah budaya pakai-buang,
sebuah krisis spiritual yang menyamar sebagai gaya hidup.
Kita membeli ponsel baru karena yang lama "udah ketinggalan zaman,"
padahal fungsinya masih baik.
Kita membuang pakaian yang belum rusak,
karena "tidak lagi modis."
Kita mengabaikan orang yang kelaparan,
karena "itu bukan urusan saya."

Kita lupa:
Konsumsi yang tak terbatas adalah kekosongan yang tak terisi.
Semakin banyak yang kita punya, semakin sedikit yang kita rasakan.
Dan di tengah keheningan itu, kita mencari penghiburan,
di toko, di iklan, di belanja online yang tak pernah selesai.

Sementara itu, di pedalaman Kalimantan,
pohon-pohon tua tumbang satu per satu,
menjadi kayu gelondongan untuk meja-meja mewah di kota besar.
Di Sidoarjo, lumpur panas menyembur,
mengubur desa-desa, tapi tidak mengubur keserakahan.
Di pantai Jawa, pasir digali habis-habisan,
untuk beton-beton gedung pencakar langit yang tak pernah dihuni penuh.

Ini bukan kecelakaan.
Ini adalah sistem.
Sistem yang menganggap manusia sebagai tuhan,
dan alam sebagai mesin.

Tangisan Bumi, Tangisan Kaum Miskin: Dua Suara, Satu Derita

Laudato Si' mengingatkan kita:

"Jeritan bumi dan jeritan kaum miskin adalah satu suara."

Ketika banjir datang, siapa yang kehilangan rumah?
Bukan CEO yang tinggal di apartemen lantai 40.
Tapi ibu yang tidur di tenda darurat,
anak-anak yang tak bisa sekolah karena air sudah masuk ke buku pelajaran.

Ketika cuaca ekstrem melanda,
siapa yang tak punya AC, tak punya asuransi,
tak punya dana untuk pindah?
Kaum miskin.

Ketika laut menjadi asam,
siapa yang kehilangan mata pencaharian?
Nelayan kecil, bukan pemilik kapal tanker.

Bencana tidak netral.
Ia memilih korban.
Dan korban itu selalu sama:
yang tak punya suara, tak punya kuasa,
tak punya uang untuk membeli perlindungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun