Mohon tunggu...
Ulul Husna
Ulul Husna Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga yang nyambi menjadi Guru dan cerpenis

Saving the world means saving children's future

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Antara Dinding Kaca Ariani dengan Perempuan Itu

23 Mei 2022   12:41 Diperbarui: 23 Mei 2022   12:43 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suara bising itu masih terdengar. Ariani rapat menutup kedua telinga. Dipejamkan matanya, meringkuk pada sudut ruangan.

Tetap saja.

Teriakan yang sudah dihafalnya semakin menjadi. Caci dan maki, umpatan bermacam nama binatang, disertai bunyi tapak kasar yang beradu dengan pipi, semakin membuat Ariani merapatkan lutut di dada.

Selalu terjadi saat tengah malam. Ketika Ariani telah hanyut dalam mimpi yang anehnya itu-itu saja. Mimpi yang pasti membuatnya terbangun bersamaan dengan ketukan keras pintu depan.

"Dasar perempuan jalang! Setan tak tahu di untung! Berani kau main di belakangku!"

Ariani bisa membayangkan, suara kasar itu pasti dibarengi dengan jambakan pada rambut panjang yang bersimpuh kesakitan pada lantai keramik berukuran 40 x 40 cm.

"Plak!" tak hanya sekali, bahkan berkali-kali membuat Ariani ikut merasakan panas di pipinya.

"Sudah kubilang, jangan macam-macam! Tapi kamu tak patuh ya," tuduh laki-laki itu sambil sempoyongan, berusaha menopang tubuhnya yang hampir limbung terkena pengaruh si air setan.

"Aku tidak melakukannya, Bang," kilah perempuan itu dengan derai air mata tanpa suara isak.

"Apa?! Tidak melakukan? Kamu anggap aku tuli?!" gertak lelaki itu kasar. Jari bertato itu mencengkeram lengan lemah si perempuan. "Kau pikir aku tak dengar omongan orang sekampung tentang kamu?! Dasar perempuan cabul! Beraninya membawa pria lain ke rumah ini!"

"Tapi aku benar-benar tak pernah, Bang!"

Pembelaan itu semakin membuat lelaki itu kalap. Bogem mentah mendarat di perut yang serupa samsak tinju terbuat dari daging mentah.

Lagi-lagi Ariani sanggup merasakan ngilu di perut akibat ulah lelaki itu.

"Ampun, Bang ...."

Rintihannya hanya suara lirih yang bahkan hampir tak terdengar. Sayang tajam pendengaran lelaki itu malah membuat petaka bagi si perempuan.

"Ampun? Kau pikir cukup kata ampun untuk menutupi pengkhianatan mu?!"

Terdengar sesuatu diseret dengan paksa dan menimbulkan suara keras karena menabrak benda di sekitar. Ariani tahu sesuatu itu dan siapa yang menyeretnya.

Rintihan memohon tak menghentikan seretan itu.

Ariani mendengar pintu dibuka dengan kasar dan menabrak dinding, membuatnya berjingkat.

"Dosamu harus dibersihkan. Aku tak mau melihat manusia penuh dosa sepertimu di rumah ini!"

Suara air mengucur deras membuat bulu kuduk Ariani meremang. Dia pernah secara tak sengaja melihat apa yang terjadi saat bunyi keran kamar mandi mulai terdengar. Dan itu sangat menyayat hatinya.

"Kamu mesti ingat, jika bukan karena aku, kamu sudah mati kelaparan di kolong jembatan itu! Kamu punya hutang nyawa padaku, ingat!"

"Iya, Bang. Aku salah. Maafkan aku kali ini saja."

"Goblok!" maki lelaki itu. "Kau pikir kata maaf bisa menghapus kelakuan binatangmu dan seenaknya mempermalukan aku? Dasar perempuan kotor!"

Perempuan itu memekik tatkala lelaki itu mengakhiri cercaannya. Namun pekikan memelas itu tetiba hilang saat terdengar sesuatu mencebur dalam bak mandi.

Ariani bisa merasakan penderitaannya. Wajahnya akan terasa panas tertampar air. Matanya pasti perih bercampur dengan kepanikan. Hidungnya akan tersedak dan nafas terhambat air yang memburu masuk. Tangan menggapai-gapai ke segala arah, mencari pegangan untuk mengangkat kepala yang tenggelam dalam air.

Namun apa daya. Lengan kekar menghalangi dengan sekuat tenaga, seperti tak peduli dengan nyawa yang hanya sebuah.

Dada Ariani serasa sesak. Penuh dengan air yang menyerbu ke dalam paru-parunya. Ingin dia keluar dan mencegah perlakuan lelaki itu, melawan untuk membebaskan perempuan yang disebut kotor itu.

Ariani tak kuasa. Tak ada keberanian tersisa saat lelaki itu melaksanakan niatnya yang disebut sebagai pembersih dosa.

Ariani terlalu takut. Lagipula, dinding kaca di sekitar benar-benar mengurungnya.

Meringkuk di sudut ruangan, berharap jika segala adegan yang ada di balik dinding ruangan itu cepat berlalu. Sebatas itu yang bisa dilakukannya. Untuk saat ini.

Beberapa detik kemudian, Ariani menangkap suara nafas terengah-engah. Rupanya lelaki itu telah membebaskannya dari siksaan bak mandi yang menyakitkan.

Perempuan itu megap-megap, menghirup udara sebanyak-banyaknya ke dalam mulut yang sedetik sebelumnya penuh dengan air keran kamar mandi.

Ariani ikut-ikutan menarik nafas dan menghembuskan. Mencari kesegaran udara untuk mengganti air yang memasuki paru-paru.

"Bagaimana?" Lelaki itu mendekatkan bibir tebalnya pada telinga si perempuan yang masih tersengal.

"Apa kau mau lagi?" bisiknya lembut, namun penuh dengan kengerian di telinga Ariani.

"Ampun.... Cukup, Bang."

Meski terbata, perempuan itu mencoba mendapat belas kasihan.

Bukannya mengabulkan, lelaki itu malah menunjukkan gigi kuningnya yang penuh dengan karang dan berbau busuk saat nafasnya berhembus. Itu adalah sebuah senyuman. Senyuman yang sama sekali tidak membuat hangat perasaan, namun senyuman sinis serupa anak setan yang baru saja menemukan mangsanya. Senyum yang hanya sedetik, berganti menjadi geram kemarahan yang entah datang dari mana. Tak ayal. Bagai mengulang adegan, dia membenamkan lagi kepala perempuan itu ke dalam bak mandi. Berulang dan berulang kali.

Ariani tak sanggup lagi. Jerit yang tak sempat keluar membuatnya penuh. Penuh dengan bermacam perasaan. Takut, panik, dan marah.

Angannya mencoba melarikan diri dengan cara mengembara ke waktu damainya. Di saat Ariani masih asyik dalam dunia yang hanya ada kegembiraan dan bersenang-senang. Tak ada cacian, fitnahan, pun pukulan bertubi-tubi.

Meski kemujuran tak selalu mendatangi, namun tak seorangpun peduli pada gadis remaja yang sibuk memulung di tempat pembuangan akhir. Dunianya hanya ada keceriaan dan canda dengan teman-teman. Tak ada orang tua juga saudara. Tapi Ariani, juga perempuan itu, bahagia.

Berlomba dengan teriakan para pria berseragam sudah menjadi rutinitas yang meski sedikit mendebarkan, namun serasa memperoleh satu medali saat mereka berhasil kabur.

Ariani begitu menikmati hari-hari itu. Juga perempuan itu. Kemanapun Ariani pergi, perempuan itu tak lepas dari genggaman. Mereka bagai dirantai takdir, takkan terpisah meski maut mendatangi.

Tapi semua berubah tatkala keadaan berputar haluan.

Ariani masih teringat rasa melilit yang tak tertahan. Kelaparan memaksa Ariani mengais dari sisa pembuangan di tong sampah.

Tapi nihil. Tak sebutir nasi atau sekerat tulang ditemukan. Tiga hari mereka harus menerima siksa lapar yang sangat menyiksa di usia belianya. Tubuh Ariani gemetar menahan lapar. Meski air keran dari toilet umum menggelembung dalam usus, tetap tak sanggup membungkam cacing-cacing lapar di perut.

Ariani dan perempuan itu berakhir di kolong jembatan dengan lunglai.

Dengan mata terpejam dan nafas kembang kempis yang hampir putus, Ariani mencoba bertahan. Tubuhnya menggigil menahan demam yang mungkin sudah mencapai empat puluh derajat. Sedang sekitarnya abai akan dirinya, karena keadaan mereka tak lebih baik dengan yang dialami Ariani dan perempuan itu.

Ketika Ariani tinggal menunggu detik-detik malaikat maut menjemput nyawa, antara sadar dan tidak, seseorang menepuk punggungnya. Lamat didengar suara lembut lelaki. Entah apa yang dikatakan, Ariani hanya mengangguk dan pasrah saat dia dibawa pergi.

Ketika Ariani tersadar, dia, dan perempuan itu, telah berada di sebuah rumah berkeramik ukuran 40 x 40cm. Seorang lelaki ramah menjamunya sedemikian rupa, merawat perempuan itu dan dirinya, sampai Ariani betul merasakan nikmat yang belum pernah dia miliki, bahkan sejak dia dilahirkan.

Dia merasa kenyang dan bersih. Tak ada lagi perlombaan lari atau petak umpet melawan orang-orang berseragam. Ariani dan perempuan itu begitu bahagia dengan kehidupan barunya.

Sayang. Kehidupan nikmat itu tak berlangsung lama.

Lelaki yang menjanjikan ikatan yang nantinya akan menjadikan mereka satu dan tak terpisahkan, nyatanya hanya seorang penipu dan peminum.

Bualan cincin emas dua gram yang sempat membuat perempuan itu terbuai, tak kunjung tersemat di jari.

Gaun putih kain brokat juga tudungnya hanya gambaran semu yang diimingi.

Perempuan itu terperosok dalam lubang siksa yang selalu mengintai setiap saat. Sedang Ariani terpenjara dalam ruangan kaca tebal yang terkadang berubah menjadi buram dan membutakannya, meski suatu ketika dia bisa melihat dan selalu bisa mendengar, sayangnya tak ada satu upaya yang sanggup dia lakukan untuk keluar. Hanya rasa takut.

Namun, lengking terakhir perempuan itu sungguh menyayat hati.

"Tolong ...." Lirih suara yang sangat dikenal, begitu dekat dibalik kaca tebal Ariani. Lirih suara yang membuat Ariani membuka seluruh Indra.

Bangkit dari ringkukan menyedihkan, meraba setiap jengkal dinding kaca mencari sumber suara.

"Tolong ...." Sekali lagi suara itu menuntun Ariani.

Gelap yang tadinya menyelubungi seluruh ruangan, perlahan berubah menjadi temaram.

Sesosok tubuh tergeletak miris dari balik kaca. Ariani melihatnya.

Basah kuyup dengan sebelah mata lebam dan pipi bengkak, menatap Ariani dengan pandangan memohon.

Perlahan Ariani mendekat.

Perempuan itu berusaha menjulurkan jari-jari lemahnya ke arah Ariani. Ariani semakin membuncah dengan perasaan campur aduk.

Ingin dia menggapai jemari itu. Sayang dinding kaca terlalu tebal.

Diliputi nafsu kemarahan yang mulai menjalar, Ariani mengetuk-ngetuk dinding kaca. Ketukan menjadi pukulan. Pukulan bercampur cabikan menggebu disela teriakan kalap Ariani dan rintihan perempuan itu.

Sampai sebuah retakan muncul dan memecahkan dinding kaca tebal itu.

Ariani berlari ke arah perempuan itu dan memeluknya erat.

***

Sesosok tubuh tergeletak bersimbah darah di sebelah bak mandi. Dua puluh tiga sayatan yang cukup dalam pada perut dan sekujur tubuh menandakan jika ada dua puluh tiga sayatan yang mendera.

Seorang perempuan meringkuk di sudut kamar mandi dengan menggenggam sebilah pisau cukur berlumur darah.

Mata perempuan itu liar menatap ke segala arah. Seperti asing dengan suasana sekitar. Namun senyum kekanakan tak lepas dari sudut bibirnya.

Seorang berseragam abu-abu, memakai sepatu hitam tinggi, juga sebuah topi aneh bertengger di kepalanya,  perlahan mendekat. Dengan suara yang terkesan penuh kehati-hatian, orang itu bertanya, "siapa namamu?"

Gadis itu menjawab lirih, "Ariani."

Tamat

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun