Suara bising itu masih terdengar. Ariani rapat menutup kedua telinga. Dipejamkan matanya, meringkuk pada sudut ruangan.
Tetap saja.
Teriakan yang sudah dihafalnya semakin menjadi. Caci dan maki, umpatan bermacam nama binatang, disertai bunyi tapak kasar yang beradu dengan pipi, semakin membuat Ariani merapatkan lutut di dada.
Selalu terjadi saat tengah malam. Ketika Ariani telah hanyut dalam mimpi yang anehnya itu-itu saja. Mimpi yang pasti membuatnya terbangun bersamaan dengan ketukan keras pintu depan.
"Dasar perempuan jalang! Setan tak tahu di untung! Berani kau main di belakangku!"
Ariani bisa membayangkan, suara kasar itu pasti dibarengi dengan jambakan pada rambut panjang yang bersimpuh kesakitan pada lantai keramik berukuran 40 x 40 cm.
"Plak!" tak hanya sekali, bahkan berkali-kali membuat Ariani ikut merasakan panas di pipinya.
"Sudah kubilang, jangan macam-macam! Tapi kamu tak patuh ya," tuduh laki-laki itu sambil sempoyongan, berusaha menopang tubuhnya yang hampir limbung terkena pengaruh si air setan.
"Aku tidak melakukannya, Bang," kilah perempuan itu dengan derai air mata tanpa suara isak.
"Apa?! Tidak melakukan? Kamu anggap aku tuli?!" gertak lelaki itu kasar. Jari bertato itu mencengkeram lengan lemah si perempuan. "Kau pikir aku tak dengar omongan orang sekampung tentang kamu?! Dasar perempuan cabul! Beraninya membawa pria lain ke rumah ini!"
"Tapi aku benar-benar tak pernah, Bang!"