Masih di bulan kemerdekaan RI ke-80. Peristiwa seorang pengemudi ojol online dilindas rantis Brimob, pada 28 Agustus 2025 kali ini memantik ingatan kita semua akan tragedi luka bangsa ini yang telah lalu.
Tragedi Malari '74 hingga reformasi '98 mengundang nurani penulis untuk mengintipnya lagi. Bukan membuka luka lama, tapi menyiapkan tinta untuk sama-sama belajar.
Rene seorang mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKI) saat ikut demonstrasi yang dikenal dengan peristiwa Malari '74. Ia tertembak persis depan kampus Trisakti.
Berlajut pada reformasi '98 dimana 4 mahasiswa Trisakti tertembak tewas oleh aparat. Tragedi ini terjadi pada 12 Mei 1998.
Kisah dan foto mereka di atas jadi pemantik perlawanan. Pada tahun yang sama rezim kala itu pun runtuh, seolah lupa, semua gagap gempita merayakan era reformasi.
Kebijakan pemerintah dan perlawanan
Jakarta bergerolak pada 15 Januari 1974 diakibatkan oleh kebijakan pemerintah akan banjirnya modal asing. Kerusuhan rakyat pun tak terbendung.
20 tahun kemudian krisis ekonomi terjadi. Rupiah melemah dengan nilai tukar dolarnya menembus di angka Rp. 20.000 per dolar.
Perlawanan pun bergelombang menjadi arus kekuatan rakyat. Naasnya, korban sipil terus jadi tumbal. Hilangnya nyawa hingga kita menyaksikan peristiwa Semanggi I dan Semanggi II.
Kali ini kita tidak sedang menghitung angka statistik korban, tapi ini tentang kebijakan yang berani menghilangkan aspek kemanusiaan. Dimana nuraninya?
Bahkan satu nyawa sekalipun jadi korban kematian. ini tentang kemanusiaan sekali lagi. Tragedi Ojol 2025 membuat kita semua kecewa, negara dan aparatnya seolah tidak belajar dari sejarah justru mewariskan tindakan "anti" kemanusiaan.
Peristiwa tertindas nya ojol oleh aparat, kematian Rene hingga hilangnya nyawa 4 mahasiswa jadi catatan kelam sejarah Republik ini. Simbol ketidakadilan struktural, korbannya selalu saja rakyat kecil.
Aparat oh Aparat
Seorang ojol yang bernama Afan Kurniawan berusia 21 tahun kini sudah di pembaringan, nyawanya hilang, meninggalkan keluarga yang selama ini dinafkahinya. Tindakan sadis aparat dengan fasilitas negara ini menyisakan luka mendalam bagi semua.
Fakta sejarah dari Malari 1974 hingga Ojol 2025. Tentang tindakan aparat harusnya jadi kecaman setimpal dalam arus penegakan hukum.
Jika tak ingin menyinggung persoalan hukum, sejenak mari kita mainkan empati sesama anak bangsa. Pak aparat terhormat, bagaimana perasaan anda jika peristiwa ojol terjadi ke anak kandung sendiri?
Kami tidak ingin menyalahkan aparat berseragam. Penulis secara pribadi memiliki kerabat yang berseragam dengan profesi tersebut. Tulisan kali ini hanya mencoba melihat lebih jernih dan objektif.
Belum lagi melihat dan berkaca pada penculikan dan pelanggaran HAM di '98. Nama besar Munir dan keluarga yang ditinggalkannya kian berjibaku memperjuangkan keadilan atas kezaliman dan rasa keadilan begitu pahit untuk sosok tercinta.
Sejarah terus mencatat
"Sejarah tak pernah cacat dalam mencatat peristiwanya. Semua akan terbukti dengan sendirinya, tinggal menunggu waktu saja!"
Seorang bapak tua yang sedang menikmati kopi pahitnya sontak berucap sebagaimana yang penulis tulis di atas. Ucapan ini terjadi saat masih mahasiswa di Jogja, sore hari, ngopi di warung terbilang lawas itu bersama pelanggan lainnya  berusia senja.Â
Penulis percaya bahwa kasus-kasus yang terjadi lalu, akhirnya jadi tragedi. Sebuah catatan melukai sejarah negeri kita.
Suara kami hari ini mungkin saja diabaikan oleh penguasa. Dengan media sosial rasanya tidak akan mampu membungkam solidaritas diantara kami.
Ya, kami yang kalian tuduh anarkis sedari dulu, izin mengajukan pertanyaan. Siapakah anarkis lagi brutal hingga tega melindas nyawa manusia tanpa nurani dan empati sedikit pun?
Salam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI