Mohon tunggu...
Albar Rahman
Albar Rahman Mohon Tunggu... Lecturer, Editor, Writer and Founder of sisipagi.com

Menulis dan membaca sejarah, penikmat kopi, pecinta budaya juga sastra. Kini menjadi suami siaga untuk nyonya tercinta sebagai pekerjaan tetap.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perisitiwa Berulang: Dari Malari '74, Reformasi 98 hingga Ojol di 2025

29 Agustus 2025   14:10 Diperbarui: 29 Agustus 2025   14:10 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Peristiwa tertindas nya ojol oleh aparat, kematian Rene hingga hilangnya nyawa 4 mahasiswa jadi catatan kelam sejarah Republik ini. Simbol ketidakadilan struktural, korbannya selalu saja rakyat kecil.

Aparat oh Aparat

Seorang ojol yang bernama Afan Kurniawan berusia 21 tahun kini sudah di pembaringan, nyawanya hilang, meninggalkan keluarga yang selama ini dinafkahinya. Tindakan sadis aparat dengan fasilitas negara ini menyisakan luka mendalam bagi semua.

Fakta sejarah dari Malari 1974 hingga Ojol 2025. Tentang tindakan aparat harusnya jadi kecaman setimpal dalam arus penegakan hukum.

Jika tak ingin menyinggung persoalan hukum, sejenak mari kita mainkan empati sesama anak bangsa. Pak aparat terhormat, bagaimana perasaan anda jika peristiwa ojol terjadi ke anak kandung sendiri?

Kami tidak ingin menyalahkan aparat berseragam. Penulis secara pribadi memiliki kerabat yang berseragam dengan profesi tersebut. Tulisan kali ini hanya mencoba melihat lebih jernih dan objektif.

Belum lagi melihat dan berkaca pada penculikan dan pelanggaran HAM di '98. Nama besar Munir dan keluarga yang ditinggalkannya kian berjibaku memperjuangkan keadilan atas kezaliman dan rasa keadilan begitu pahit untuk sosok tercinta.

Sejarah terus mencatat

"Sejarah tak pernah cacat dalam mencatat peristiwanya. Semua akan terbukti dengan sendirinya, tinggal menunggu waktu saja!"

Seorang bapak tua yang sedang menikmati kopi pahitnya sontak berucap sebagaimana yang penulis tulis di atas. Ucapan ini terjadi saat masih mahasiswa di Jogja, sore hari, ngopi di warung terbilang lawas itu bersama pelanggan lainnya  berusia senja. 

Penulis percaya bahwa kasus-kasus yang terjadi lalu, akhirnya jadi tragedi. Sebuah catatan melukai sejarah negeri kita.

Suara kami hari ini mungkin saja diabaikan oleh penguasa. Dengan media sosial rasanya tidak akan mampu membungkam solidaritas diantara kami.

Ya, kami yang kalian tuduh anarkis sedari dulu, izin mengajukan pertanyaan. Siapakah anarkis lagi brutal hingga tega melindas nyawa manusia tanpa nurani dan empati sedikit pun?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun