Di era digital seperti sekarang, berita tentang demonstrasi begitu cepat menyebar. Dari layar kaca hingga linimasa media sosial, hampir setiap detik kita disuguhi gambar dan narasi yang tak jarang bikin kita bertanya-tanya.
Bukan hanya orang dewasa yang memperhatikan masalah ini, bahkan anak-anak sekolah dasar pun ikut menaruh rasa ingin tahu. Pertanyaan polos mereka kadang justru menusuk lebih dalam ketimbang komentar para pengamat politik di televisi.
Bayangkan, seorang siswa bertanya, "Pak, kenapa ada orang yang demo sampai bakar-bakar, kok malah ada yang ditabrak dan meninggal?" Sebuah pertanyaan sederhana, tapi berat jawabannya.
Sebagai guru, momen seperti ini bagaikan ujian tak tertulis. Haruskah kita menghindar dengan jawaban normatif, atau justru menjadikannya peluang emas untuk mendidik tentang arti demokrasi?
Banyak orang mungkin beranggapan anak SD belum pantas membicarakan isu demonstrasi. Namun, realitanya dunia kini tanpa sekat informasi. Apa yang terjadi di jalanan ibu kota bisa langsung masuk ke genggaman tangan bocah di desa.
Inilah tantangan kita. Bagaimana menyaring sekaligus menyulap kabar kekerasan menjadi bahan pembelajaran yang menumbuhkan empati dan kesadaran sosial pada generasi muda.
Demonstrasi sejatinya adalah bagian sah dari demokrasi. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, jelas menyatakan setiap warga negara berhak menyampaikan pendapat di muka umum. Jadi, demo bukan sekadar kerumunan tapi wujud kebebasan berekspresi.
Sayangnya, praktik di lapangan seringkali berbeda dari teori. Alih-alih berjalan damai, demonstrasi kadang berujung ricuh, bahkan memakan korban jiwa.
Data Komnas HAM menunjukkan bahwa setiap tahun selalu ada laporan pelanggaran hak asasi manusia dalam konteks aksi unjuk rasa. Dari tindakan represif aparat, hingga anarkisme massa yang merugikan publik.
Di titik inilah anak-anak kita perlu diberi pemahaman. demonstrasi itu boleh tapi harus dilakukan dengan damai, tertib, dan beradab. Tanpa kekerasan, tanpa merugikan orang lain.
Sebuah bangsa yang besar bukanlah bangsa yang menekan suara rakyat, melainkan bangsa yang mampu mendengar, berdialog, dan mencari solusi bersama.
Bukankah Indonesia dibangun atas semangat musyawarah? Sila keempat Pancasila jelas menyebutkan: "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan".
Artinya, unjuk rasa mestinya menjadi jalan aspirasi bukan ajang adu otot. Menyuarakan hati nurani, bukan melampiaskan emosi.
Anak-anak kita harus belajar bahwa demokrasi bukanlah teriakan keras di jalanan. melainkan keberanian untuk bicara dengan santun dan mendengar dengan lapang dada.
Sebagai guru, saya melihat pertanyaan siswa soal demo justru sebagai pintu masuk. Pintu untuk menanamkan nilai empati, tanggung jawab sosial, dan cinta damai.
Kita bisa mulai dari hal kecil berupa diskusi kelas. Misalnya, menanyakan kepada siswa, "Kalau kalian tidak setuju dengan aturan di sekolah, apa yang bisa dilakukan selain marah-marah?"
Anak-anak mungkin akan menjawab dengan polos: bisa bicara baik-baik dengan guru, bisa menulis usulan, atau bisa musyawarah bersama teman-teman.
Nah, dari sinilah mereka belajar ternyata ada banyak cara menyampaikan pendapat tanpa harus merusak atau menyakiti.
Pendidikan demokrasi memang harus dimulai sejak dini. Jangan tunggu sampai remaja atau kuliah. Justru ketika masih polos, anak-anak lebih mudah menyerap nilai positif.
Inilah misi kita sebagai pendidik. Mendidik siswa menjadi manusia yang beradab. Sebab apa arti cerdas jika tidak bisa berempati? Apa arti pintar jika tak mampu menahan diri?
Empati adalah hal yang tak pernah usang. Dengan empati, kita bisa memahami penderitaan orang lain dan berusaha agar tidak menambah luka.
Ketika seorang ojol ditabrak saat demo, anak-anak harus belajar bahwa itu bukan sekadar korban melainkan ayah, suami, atau anak dari seseorang. Momen ini bisa menjadi titik awal mengajarkan keadilan sosial. Bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi dan kita harus bertanggung jawab.
Di era post-truth, dimana emosi lebih dipercaya ketimbang fakta. Untuk itulah literasi digital harus digencarkan. Anak-anak perlu diajarkan memilah informasi bukan menelan mentah-mentah apa yang berseliweran di layar.
Maka, membicarakan demo di kelas bukanlah hal tabu. Justru ini menjadi ruang belajar nyata tentang bagaimana menghadapi dunia yang penuh dinamika. Guru bisa menjelaskan bahwa demonstrasi adalah hak, tapi ada etika dan batasan yang harus dijaga.
Di negara maju, demonstrasi damai justru menjadi festival demokrasi. Orang datang dengan poster kreatif bahkan teater jalanan. Jarang ada bakar-bakaran, tak ada lempar-lemparan. Indonesia pun bisa ke arah sana jika sejak dini kita mendidik anak-anak untuk berpikir kritis sekaligus humanis.
Mungkin ada yang berkata, "Ah, terlalu muluk." Namun sejarah membuktikan banyak perubahan besar dimulai dari ruang kelas yang sederhana. Contohnya Ki Hajar Dewantara yang menjadikan pendidikan sebagai senjata melawan penjajahan. Hari ini, kita pun bisa melakukan hal serupa.
Bagi saya pribadi, pertanyaan siswa tentang demo bukan gangguan melainkan alarm. Alarm bahwa mereka peduli, bahwa mereka ingin mengerti. Tugas kita bukan memberi jawaban final. melainkan mengarahkan agar rasa ingin tahu itu tumbuh menjadi kesadaran sosial.
Dengan begitu, anak-anak tidak hanya menjadi penonton berita tetapi juga calon warga negara yang cerdas dan peduli. Sebuah bangsa yang kuat bukanlah bangsa tanpa konflik melainkan bangsa yang mampu mengelola konflik dengan bijak.
Dan proses itu dimulai dari hal-hal kecil seperti menjawab pertanyaan sederhana di ruang kelas. Jawaban kita mungkin tak sempurna tapi setidaknya mengajarkan nilai bahwa manusia harus saling menghargai, bukan saling melukai.
Jangan sampai hari ini kita gagal mengajarkan itu supaya esok mereka tumbuh menjadi generasi bisa berdialog, bukan yang hanya bisa marah-marah. Maka mari jadikan setiap momen ---termasuk momen demo--- sebagai pendidikan karakter.
Dan semoga DPR, pemerintah, maupun aparat juga bisa menjalankan fungsinya dengan baik demi keutuhan bangsa dan negara. Aamiin..
*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== AKBAR PITOPANG ==
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI