Inilah misi kita sebagai pendidik. Mendidik siswa menjadi manusia yang beradab. Sebab apa arti cerdas jika tidak bisa berempati? Apa arti pintar jika tak mampu menahan diri?
Empati adalah hal yang tak pernah usang. Dengan empati, kita bisa memahami penderitaan orang lain dan berusaha agar tidak menambah luka.
Ketika seorang ojol ditabrak saat demo, anak-anak harus belajar bahwa itu bukan sekadar korban melainkan ayah, suami, atau anak dari seseorang. Momen ini bisa menjadi titik awal mengajarkan keadilan sosial. Bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi dan kita harus bertanggung jawab.
Di era post-truth, dimana emosi lebih dipercaya ketimbang fakta. Untuk itulah literasi digital harus digencarkan. Anak-anak perlu diajarkan memilah informasi bukan menelan mentah-mentah apa yang berseliweran di layar.
Maka, membicarakan demo di kelas bukanlah hal tabu. Justru ini menjadi ruang belajar nyata tentang bagaimana menghadapi dunia yang penuh dinamika. Guru bisa menjelaskan bahwa demonstrasi adalah hak, tapi ada etika dan batasan yang harus dijaga.
Di negara maju, demonstrasi damai justru menjadi festival demokrasi. Orang datang dengan poster kreatif bahkan teater jalanan. Jarang ada bakar-bakaran, tak ada lempar-lemparan. Indonesia pun bisa ke arah sana jika sejak dini kita mendidik anak-anak untuk berpikir kritis sekaligus humanis.
Mungkin ada yang berkata, "Ah, terlalu muluk." Namun sejarah membuktikan banyak perubahan besar dimulai dari ruang kelas yang sederhana. Contohnya Ki Hajar Dewantara yang menjadikan pendidikan sebagai senjata melawan penjajahan. Hari ini, kita pun bisa melakukan hal serupa.
Bagi saya pribadi, pertanyaan siswa tentang demo bukan gangguan melainkan alarm. Alarm bahwa mereka peduli, bahwa mereka ingin mengerti. Tugas kita bukan memberi jawaban final. melainkan mengarahkan agar rasa ingin tahu itu tumbuh menjadi kesadaran sosial.
Dengan begitu, anak-anak tidak hanya menjadi penonton berita tetapi juga calon warga negara yang cerdas dan peduli. Sebuah bangsa yang kuat bukanlah bangsa tanpa konflik melainkan bangsa yang mampu mengelola konflik dengan bijak.
Dan proses itu dimulai dari hal-hal kecil seperti menjawab pertanyaan sederhana di ruang kelas. Jawaban kita mungkin tak sempurna tapi setidaknya mengajarkan nilai bahwa manusia harus saling menghargai, bukan saling melukai.
Jangan sampai hari ini kita gagal mengajarkan itu supaya esok mereka tumbuh menjadi generasi bisa berdialog, bukan yang hanya bisa marah-marah. Maka mari jadikan setiap momen ---termasuk momen demo--- sebagai pendidikan karakter.