Sebuah bangsa yang besar bukanlah bangsa yang menekan suara rakyat, melainkan bangsa yang mampu mendengar, berdialog, dan mencari solusi bersama.
Bukankah Indonesia dibangun atas semangat musyawarah? Sila keempat Pancasila jelas menyebutkan: "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan".
Artinya, unjuk rasa mestinya menjadi jalan aspirasi bukan ajang adu otot. Menyuarakan hati nurani, bukan melampiaskan emosi.
Anak-anak kita harus belajar bahwa demokrasi bukanlah teriakan keras di jalanan. melainkan keberanian untuk bicara dengan santun dan mendengar dengan lapang dada.
Sebagai guru, saya melihat pertanyaan siswa soal demo justru sebagai pintu masuk. Pintu untuk menanamkan nilai empati, tanggung jawab sosial, dan cinta damai.
Kita bisa mulai dari hal kecil berupa diskusi kelas. Misalnya, menanyakan kepada siswa, "Kalau kalian tidak setuju dengan aturan di sekolah, apa yang bisa dilakukan selain marah-marah?"
Anak-anak mungkin akan menjawab dengan polos: bisa bicara baik-baik dengan guru, bisa menulis usulan, atau bisa musyawarah bersama teman-teman.
Nah, dari sinilah mereka belajar ternyata ada banyak cara menyampaikan pendapat tanpa harus merusak atau menyakiti.
Pendidikan demokrasi memang harus dimulai sejak dini. Jangan tunggu sampai remaja atau kuliah. Justru ketika masih polos, anak-anak lebih mudah menyerap nilai positif.