Ketika anak-anak diajarkan membedakan antara kebutuhan dan keinginan maka mereka sedang belajar menjadi manusia yang visioner. bukan yang hidup untuk sekedar gaya tapi yang siap menghadapi realitas kehidupan dengan cerdas dan tangguh.
Dalam kondisi saat ini, banyak keluarga yang harus putar otak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Maka iuran untuk hal-hal non-esensial di sekolah bisa menjadi beban tambahan yang sebenarnya bisa dihindari.Â
Praktek sekolah yang baik tak selalu harus mahal. justru yang sederhana bisa mengena jauh lebih membentuk karakter dan memperkaya makna.Â
Sekolah bisa lebih kreatif mengemas praktik PAI dengan cara yang hemat tapi tetap berkesan. misalnya lewat simulasi di kelas tanpa perlu menggelar pesta-pestaan.
Mari renungkan. bukankah inti dari pelajaran agama adalah hidup dengan kesadaran bukan kemewahan?Â
Lebih Penting Menggapai Masa Depan Terlebih Dahulu
Lulus SMA bukanlah garis akhir. justru itu titik start menuju arena kehidupan yang sebenarnya. Ada yang kuliah, memilih langsung bekerja, atau membangun usaha. Tapi apapun jalurnya, satu hal yang pasti: perjuangan masih sangat panjang.Â
Di tengah tantangan zaman dan persaingan kerja yang makin ketat kita butuh lebih banyak anak muda tangguh. bukan yang buru-buru menikah karena terbawa suasana dari simulasi. Saatnya kita dorong mereka fokus menyiapkan masa depan bukan sekadar memimpikan pelaminan.
Simulasi pernikahan dalam ujian praktik PAI mungkin terlihat manis dan megah. Tapi kehidupan rumah tangga sejati tak hanya tentang gaun pengantin dan pelaminan. Ia penuh tanggung jawab, persoalan ekonomi, dan dinamika emosional.
Jika anak SMA dibuai dengan gambaran pernikahan yang indah tanpa pemahaman realita maka bisa jadi mereka menganggap menikah itu mudah dan siap dijalani hanya karena usia dewasa secara administratif.
Padahal berdasarkan data dan fakta di lapangan menunjukkan angka dilema pengangguran usia produktif terus bertambah. Bayangkan jika setelah lulus SMA, siswa belum punya penghasilan tetap dan belum bagus emosionalnya tapi memaksakan diri menikah.Â