Puisi EsaiJEJAK 24 TAHUN BATU: NYANYIAN OTONOMI DAN TANTANGAN LESTARI
Oleh: Akaha Taufan Aminudin
I. Wajah Sejuk, Jantung Perjuangan
Kota ini,
bukan sekadar kumpulan kabut pagi,
atau deret apel malang yang ranum di lereng.
Batu,
adalah cerita yang lahir dari rahim aspirasi,
sebuah momentum yang tak hanya hitungan kalender,
namun cermin jiwa yang berani memilih nasib sendiri. MengEMASkan Indonesia.
Di Balai Kota Among Tani,
tempat sarasehan Pokja bersua,
para pemikir, pengingat, dan pemimpi duduk melingkar.
Peringatan ke-24 tahun, sebuah bilangan seperempat abad yang mendekat,
menggema pertanyaan purba:
"Apakah siap bertanggung jawab?"
(Drs. Sumiantoro mengenang, suaranya mengandung janji).
Mereka menjawab, "Siap."
Bukan sekadar kesiapan administrasi, kawan,
tapi tekad kolektif untuk mengendalikan nasib di tangan sendiri.
Inilah pondasi otonomi: kesadaran bersama,
sebuah kota yang berdiri di atas kehendak rakyatnya,
bukan sekadar pena dan peta kekuasaan.
Dari Imam Kabul ke Aries Agung Paewai,
jejak diletakkan, dan amanah diwariskan.
II. Simfoni Kritik dan Pembangunan Berkelanjutan
Namun, nyanyian otonomi tak boleh menjadi lagu tidur.
Andrek Prana, Ketua Presidium Pokja, berdiri.
Apresiasi ia berikan, namun kegelisahan ia buka:
Pembangunan! Arahnya, harus lestari.
Kota Batu, dengan keindahan yang diberkahi,
sangat rawan tergerus oleh laju instan.
Di sinilah Pokja menjadi "penjaga watak kritis,"
sebuah alarm yang tak boleh disenyapkan.
Pembangunan itu,
bukan hanya menambah wajahnya cantik dan spot selfie baru,
tapi tentang mengelola ruang dan sumber daya
agar nafas sejuknya tak terputus bagi cucu kita.
Tantangan berkelanjutan:
Bagaimana pertanian tak terhimpit beton?
Bagaimana iklim sejuk tak tergantikan hawa kota besar?
Ini bukan hanya soal visi di atas kertas,
namun tentang integritas dalam setiap kebijakan.
III. Refleksi sebagai Peta, Harapan sebagai Kompas
Sarasehan ini adalah sebuah ritual hening:
Melihat Sejarah sebagai Peta:
Agar kesalahan lama tak terulang,
agar semangat awal tidak termakan birokrasi.
Menetapkan Harapan sebagai Kompas:
Menuju utara yang jelas, berpihak pada rakyat,
visioner, progresif, dan inklusif.
Prof. Dr. Hariyono berujar,
pendidikan dan pengetahuan harus menjadi pengawal.
Sebab pengetahuan tanpa tindakan nyata, hanyalah teori hampa.
Pengetahuan harus menuntun:
dari tata ruang yang bijaksana,
hingga pemberdayaan yang mengangkat martabat.
Epilog: Kota Adalah Jiwa Kolektif Kita
Pada akhirnya,
Batu adalah rumah yang didirikan dari harap.
Kita, warganya, bukan penonton---
kita adalah pemilik saham utama dari sejarah ini.
Maka, bangkitkanlah sikap kritis yang konstruktif!
Ayo ingatkan, kawal, dan berinovasi.
Sebab sebuah kota hidup,
bukan dari deretan wisata yang memukau,
tapi dari jiwa kolektif yang saling menjaga,
belajar dari jejak yang telah dilalui,
dan berani, sungguh berani, bermimpi besar.
Untuk Batu, yang ke-24,
Semoga nafasmu tetap sejuk, dan langkahmu tak pernah terhenti.
Rabu Kliwon 15 Oktober 2025
Drs. Akaha Taufan Aminudin
Koordinator Himpunan Penulis Pengarang & Penyair Nusantara HP3N Kota Batu Wisata Sastra Budaya & KETUA SATUPENA JAWA TIMUR
Catatan;
Pegadaian MengEMASkan Indonesia
MengEMASkan Indonesia
https://www.kompasiana.com/akahataufan/68eef6a8c925c47f9d36ab02/menyelami-jejak-sejarah-kota-batu-refleksi-dari-sarasehan-pokja-peningkatan-status-kota-batu?utm_source=Telegram&utm_medium=Refferal&utm_campaign=Sharing_Mobile
Menyelami Jejak Sejarah Kota Batu: Refleksi dari Sarasehan Pokja Peningkatan Status Kota Batu
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
