Misalnya, orang superkaya dengan penghasilan di atas Rp100 miliar setahun dikenakan pajak sangat tinggi, hingga 75%.
Uang yang terkumpul dari pajak itu tidak boleh menguap ke birokrasi, melainkan langsung dipakai untuk membangun universitas gratis bagi anak muda, serta klinik kesehatan desa yang buka 24 jam dan dikelola masyarakat setempat.
Semua penggunaan dana diawasi dengan teknologi digital transparan, sehingga setiap rupiah bisa ditelusuri publik.
Dengan begitu, negara benar-benar menjalankan prinsip sederhana: kebijakan dibuat seakan-akan kita tidak tahu akan lahir sebagai orang kaya atau miskin. Karena itulah, sistem dibangun agar adil untuk semua, bukan hanya untuk segelintir orang.
Jika kontrak sosial baru benar-benar ditulis dengan tinta keadilan, maka Indonesia tak hanya selamat dari siklus krisis dan kerusuhan, tetapi bangkit sebagai teladan dunia.
Kita harus menjadi sebuah negeri yang memilih cahaya kebersamaan ketimbang bara perpecahan. Dan menjadikan keadilan bukan sekadar mimpi, melainkan napas sehari-hari rakyatnya.***
Jakarta, 19 September 2025
Referensi
*Piketty, Thomas. Capital in the Twenty-First Century. Harvard University Press, 2014.
*Castells, Manuel. Networks of Outrage and Hope: Social Movements in the Internet Age. Polity Press, 2012.
*Rawls, John. A Theory of Justice. Harvard University Press, 1971.