Mohon tunggu...
A Iskandar Zulkarnain
A Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... SME enthusiast, Hajj and Umra enthusiast, Finance and Banking practitioners

Iskandar seorang praktisi Keuangan dan Perbankan yang berpengalaman selama lebih dari 35 tahun. Memiliki sejumlah sertifikat profesi dan kompetensi terkait dengan Bidang Manajemen Risiko Perbankan Jenjang 7, Sertifikat Kompetensi Manajemen Risiko Utama (CRP), Sertifikat Kompetensi Investasi (CIB), Sertifikat Kompetensi International Finance Management (CIFM) dan Sertifikat Kompetensi terkait Governance, Risk Management & Compliance (GRCP) yang di keluarkan oleh OCEG USA, serta Sertifikasi Kompetensi Management Portofolio (CPM). Iskandar juga berkiprah di sejumlah organisasi kemasyarakatan ditingkat Nasional serta sebagai Ketua Umum Koperasi Syarikat Dagang Santri. Belakangan Iskandar juga dikenal sebagai sosok dibalik kembalinya Bank Muamalat ke pangkuan bumi pertiwi.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Harga Gabah Naik, Saatnya Petani Tersenyum

9 April 2025   06:00 Diperbarui: 10 April 2025   19:11 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Sekelompok petani sedang memasukkan gabah kering ke dalam kantung | Kompas.com/Setyo Adi

Kabar baik datang dari ladang-ladang padi di seluruh penjuru negeri. Pemerintah akhirnya menetapkan harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani menjadi Rp6.500 per kilogram, sebuah angka yang membawa harapan baru setelah sekian lama petani tercekik oleh harga jual yang tak sebanding dengan ongkos tanam. 

Sebelumnya, harga GKP sempat berkisar di angka Rp5.000 hingga Rp5.500/kg, yang dalam banyak kasus justru membuat petani merugi, apalagi jika musim tanam sebelumnya harus menghadapi kenaikan harga pupuk, sewa lahan, atau gagal panen karena cuaca ekstrem. Dalam kondisi semacam itu, bertani bukan lagi ladang penghidupan, melainkan ladang perjuangan yang penuh ketidakpastian.

Maka, kenaikan ini bukan sekadar urusan angka. Ia adalah cermin dari arah keberpihakan negara, sebuah pernyataan bahwa pemerintah tidak tinggal diam melihat jerih payah petani tak dihargai sewajarnya. 

Ini juga menjadi simbol keadilan ekonomi, sebab sektor pertanian bukan hanya tulang punggung pangan nasional, tetapi juga penyerap tenaga kerja terbesar dan penyangga ekonomi desa. 

Selama bertahun-tahun, sektor ini berjalan dalam bayang-bayang modernisasi sektor lain, tanpa perlindungan harga yang memadai. Ketika industri dan perdagangan mendapat insentif besar, petani justru bertaruh hidup dari harga pasar yang fluktuatif dan minim intervensi.

Kini, kebijakan harga gabah yang lebih layak memberi secercah harapan bahwa nasib petani bisa berubah. Mereka yang selama ini merasa dipinggirkan, kini merasa didengar. 

Apresiasi pun berdatangan dari berbagai daerah. Di Jawa, Sumatra, hingga Sulawesi, banyak petani menyambut kebijakan ini dengan optimisme baru. Mereka mulai menghitung kembali luas lahan yang akan digarap, merencanakan pola tanam yang lebih produktif, dan bahkan membuka peluang regenerasi pertanian melalui anak-anak muda yang selama ini enggan turun ke sawah karena hasilnya tak menjanjikan. Dalam konteks ini, kebijakan harga gabah bukan hanya tentang kesejahteraan, tapi tentang masa depan. Masa depan pangan Indonesia.

Dari Sawah ke Swasembada: Peluang Baru di Tengah Tantangan Lama

Kenaikan harga gabah menjadi pemantik semangat baru di kalangan petani. Mereka yang sempat putus asa karena tak mampu menutup ongkos produksi, kini mulai melihat pertanian sebagai aktivitas yang kembali bernilai ekonomi. 

Di banyak wilayah, petani mulai menggencarkan aktivitas tanam, mengolah lahan yang sempat terbengkalai, dan bahkan menjalin kemitraan baru dengan koperasi atau lembaga keuangan demi memperluas usaha tani mereka. 

Kenaikan harga ini tak hanya menumbuhkan harapan, tapi juga membuka kembali ruang menuju swasembada pangan yang selama ini kerap menjadi wacana tanpa arah nyata.

Namun demikian, perjalanan dari sawah ke swasembada bukan jalan lurus tanpa rintangan. Salah satu tantangan utama yang terus menghantui petani adalah tingginya biaya produksi, khususnya harga pupuk dan pestisida. 

Pupuk bersubsidi yang seharusnya menjadi solusi justru sering tak tersedia tepat waktu atau jumlahnya terbatas. Tak sedikit petani terpaksa membeli pupuk nonsubsidi dengan harga tinggi, yang tentu menggerus margin keuntungan meskipun harga gabah naik. Pemerintah harus menjadikan distribusi pupuk sebagai prioritas utama dalam reformasi tata kelola sektor pertanian. Tanpa kepastian pasokan input produksi, produktivitas akan stagnan, bahkan bisa menurun.

Selain pupuk, infrastruktur dasar seperti irigasi dan akses jalan ke lahan pertanian masih jadi PR besar. Masih banyak lahan sawah yang bergantung pada tadah hujan, yang membuat petani hanya bisa menanam sekali setahun. 

Padahal, dengan sistem irigasi yang baik, intensitas tanam bisa ditingkatkan menjadi dua atau bahkan tiga kali dalam setahun. 

Begitu pula dengan jalan produksi yang rusak atau berlumpur, yang menghambat distribusi hasil panen dan menambah ongkos logistik. Jika petani dihadapkan pada biaya angkut tinggi karena jalan yang rusak, maka keuntungan dari harga gabah yang naik bisa kembali tergerus.

Selain aspek teknis dan infrastruktur, tantangan lainnya adalah regenerasi petani. Rata-rata usia petani di Indonesia saat ini mendekati 50 tahun. Generasi muda masih enggan terjun ke dunia pertanian karena stigma "keringat banyak, hasil tak seberapa". Namun kini, dengan adanya kebijakan harga yang lebih menjanjikan, peluang untuk menarik minat generasi muda kembali terbuka. 

Perlu strategi khusus agar pertanian tak lagi dipandang sebagai pekerjaan kelas dua, melainkan sebagai sektor yang modern, inovatif, dan menjanjikan masa depan. Pelibatan generasi muda lewat program petani milenial, pelatihan agribisnis, serta dukungan startup pertanian berbasis teknologi digital bisa menjadi solusi konkret.

Dengan mengatasi tantangan-tantangan lama tersebut, dan memanfaatkan peluang baru yang muncul dari kebijakan harga gabah, Indonesia memiliki peluang besar untuk memperkuat ketahanan pangan nasional. 

Swasembada bukan lagi mimpi kosong. Ia adalah kemungkinan nyata, jika kebijakan yang pro-petani terus dijaga, ditingkatkan, dan dijalankan secara konsisten dari pusat hingga daerah.

Jalan Menuju Lumbung Pangan Dunia: Antara Potensi dan Konsistensi

Mimpi menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia bukan sekadar jargon retoris. Ia lahir dari realitas geografis dan potensi alam yang tak tertandingi. Indonesia memiliki lebih dari 7 juta hektare lahan sawah, ribuan sungai, curah hujan melimpah, dan siklus musim yang memungkinkan petani menanam lebih dari satu kali dalam setahun. Dari sisi sumber daya manusia, jumlah petani mencapai lebih dari 33 juta jiwa, angkanya tertinggi di kawasan Asia Tenggara. 

Dengan potensi sebesar ini, mustahil rasanya jika Indonesia terus bergantung pada beras impor setiap tahun. Namun sejarah mengajarkan, bahwa potensi yang besar bukan jaminan jika tidak diiringi dengan konsistensi kebijakan dan eksekusi lapangan yang terukur.

Salah satu elemen kunci menuju lumbung pangan dunia adalah produktivitas. Bukan hanya memperluas lahan, tapi memaksimalkan hasil dari lahan yang sudah ada. 

Untuk itu, transformasi teknologi di sektor pertanian harus digenjot. Modernisasi alat pertanian, pemanfaatan big data untuk pola tanam, hingga penggunaan teknologi drone dan satelit untuk memantau pertumbuhan tanaman adalah keniscayaan. 

Negara-negara seperti India, Tiongkok, dan Vietnam sudah melangkah jauh dalam hal ini. Jika Indonesia ingin bersaing sebagai eksportir utama pangan, tidak ada pilihan selain berinvestasi serius di sektor riset dan teknologi pertanian.

Namun adopsi teknologi tidak akan optimal jika tidak didukung oleh struktur kelembagaan yang kuat dan pendampingan berkelanjutan. Peran penyuluh pertanian lapangan (PPL) harus diperkuat, bukan dilemahkan. 

Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah PPL terus menurun akibat minimnya rekrutmen dan rendahnya insentif. Padahal, mereka adalah ujung tombak di lapangan untuk mentransformasikan pengetahuan teknis kepada petani. Pemerintah pusat dan daerah perlu duduk bersama untuk menyusun skema insentif dan penguatan kapasitas PPL agar teknologi pertanian tidak hanya berhenti di ruang seminar atau laboratorium.

Tak kalah penting adalah pasar. Produksi yang melimpah tidak ada artinya jika pasar tidak tersedia atau dikuasai oleh tengkulak. Oleh karena itu, integrasi hulu-hilir dalam sistem pangan harus menjadi prioritas. Pemerintah perlu memfasilitasi sistem distribusi hasil pertanian yang adil dan transparan, termasuk mendorong BUMDes, koperasi tani, dan startup agritech sebagai jembatan antara petani dan konsumen akhir. Digitalisasi pasar hasil pertanian, melalui platform e-commerce berbasis local, juga dapat memperluas akses pasar dan memperpendek rantai distribusi yang selama ini merugikan petani.

Indonesia juga perlu mengamankan posisi di pasar ekspor global. Ini berarti produk pangan kita harus memenuhi standar mutu internasional. Sertifikasi Global GAP, praktik pertanian berkelanjutan, dan proses pascapanen yang memenuhi standar kebersihan dan efisiensi adalah syarat mutlak. Maka, pembangunan infrastruktur pascapanen seperti drying center, cold storage, dan fasilitas pengemasan modern harus digarap serius. Hanya dengan itu, Indonesia bisa bersaing dengan negara-negara agraris lainnya dan menyuplai kebutuhan pangan dunia secara konsisten.

Menjadi lumbung pangan dunia bukanlah pencapaian semalam. Ia menuntut langkah berani, investasi jangka panjang, dan yang paling penting konsistensi. Konsistensi dalam visi, dalam keberpihakan pada petani, dalam menjaga harga yang adil, dan dalam membangun ekosistem pertanian yang inklusif serta berdaya saing global. Jika arah kebijakan pertanian terus dijaga dan diperkuat dari waktu ke waktu, Indonesia bukan hanya bisa swasembada, tapi juga berdiri tegak sebagai penyedia pangan bagi dunia.

Kedaulatan Pangan, Martabat Bangsa

Lebih dari sekadar kebutuhan perut, pangan adalah fondasi utama kedaulatan bangsa. Sebuah negara hanya bisa dikatakan berdaulat jika mampu memberi makan rakyatnya dari tanah dan tangan sendiri. 

Dalam konteks ini, kedaulatan pangan tidak hanya berarti swasembada, tetapi juga berdiri di atas kaki sendiri tanpa bergantung pada fluktuasi pasar global, tanpa gentar menghadapi krisis rantai pasok internasional, dan tanpa harus menggadaikan masa depan pertaniannya demi kepentingan jangka pendek.

Pangan adalah urusan hidup dan mati. Dalam sejarah panjang peradaban, banyak konflik besar dipicu oleh ketidakmampuan suatu bangsa mengelola sumber pangannya sendiri. Ketika pangan langka, rakyat resah, ekonomi limbung, dan stabilitas sosial terancam. Indonesia, dengan keberagaman hayati dan kesuburan tanah yang luar biasa, seharusnya tak perlu mengalami itu semua. Namun sayangnya, kita masih menyaksikan ironi: negeri subur ini masih rutin mengimpor beras, bawang putih, kedelai, hingga jagung, bahkan pada saat musim panen lokal.

Inilah mengapa kebijakan menaikkan harga gabah menjadi simbol penting. Ia menegaskan bahwa negara mulai menempatkan petani sebagai aktor utama dalam perjuangan menuju kedaulatan pangan. Jika petani terus dibiarkan bertarung sendiri menghadapi pasar dan tengkulak, bagaimana mungkin kita bisa berdiri tegak sebagai bangsa yang bermartabat? Harga yang layak bagi petani adalah langkah pertama untuk memastikan bahwa pangan yang dihasilkan adalah hasil dari sistem yang adil dan berkelanjutan.

Namun perjuangan tak berhenti di sana. Kita harus menjaga agar semangat keberpihakan ini tidak tergelincir oleh tekanan jangka pendek seperti stabilitas harga konsumen semata. 

Sering kali, demi menekan inflasi pangan, negara justru memilih impor besar-besaran, yang akhirnya menekan harga hasil panen lokal dan memukul petani sendiri. Ini adalah ironi yang harus diakhiri. Stabilitas harga memang penting, tapi ia tidak boleh mengorbankan masa depan pertanian nasional. Yang kita butuhkan adalah keseimbangan, antara menjaga daya beli masyarakat dan menjaga semangat juang petani.

Lebih jauh, kedaulatan pangan juga mencerminkan kehormatan kolektif kita sebagai bangsa. Negara yang merdeka secara politik, tetapi tidak merdeka secara pangan, akan selalu rentan terhadap intervensi. Maka, membangun kedaulatan pangan adalah bagian tak terpisahkan dari menjaga martabat nasional. Ini bukan semata soal hasil panen, tetapi soal harga diri.

Sudah saatnya kita memaknai pertanian sebagai sektor strategis, bukan hanya karena ia memberi makan, tapi karena ia adalah penjaga ketahanan bangsa. Kita perlu berhenti memandang petani sebagai kelas bawah yang hidup di pinggiran modernitas, dan mulai menempatkan mereka sebagai penjaga garis depan peradaban. Ketika negara hadir untuk melindungi dan memuliakan petani, saat itulah Indonesia benar-benar sedang menegakkan kedaulatannya, dari ladang, dari sawah, dan dari tangan-tangan yang menanam kehidupan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun