Mohon tunggu...
A Iskandar Zulkarnain
A Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... SME enthusiast, Hajj and Umra enthusiast, Finance and Banking practitioners

Iskandar seorang praktisi Keuangan dan Perbankan yang berpengalaman selama lebih dari 35 tahun. Memiliki sejumlah sertifikat profesi dan kompetensi terkait dengan Bidang Manajemen Risiko Perbankan Jenjang 7, Sertifikat Kompetensi Manajemen Risiko Utama (CRP), Sertifikat Kompetensi Investasi (CIB), Sertifikat Kompetensi International Finance Management (CIFM) dan Sertifikat Kompetensi terkait Governance, Risk Management & Compliance (GRCP) yang di keluarkan oleh OCEG USA, serta Sertifikasi Kompetensi Management Portofolio (CPM). Iskandar juga berkiprah di sejumlah organisasi kemasyarakatan ditingkat Nasional serta sebagai Ketua Umum Koperasi Syarikat Dagang Santri. Belakangan Iskandar juga dikenal sebagai sosok dibalik kembalinya Bank Muamalat ke pangkuan bumi pertiwi.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Harga Gabah Naik, Saatnya Petani Tersenyum

9 April 2025   06:00 Diperbarui: 10 April 2025   19:11 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Sekelompok petani sedang memasukkan gabah kering ke dalam kantung | Kompas.com/Setyo Adi

Lebih dari sekadar kebutuhan perut, pangan adalah fondasi utama kedaulatan bangsa. Sebuah negara hanya bisa dikatakan berdaulat jika mampu memberi makan rakyatnya dari tanah dan tangan sendiri. 

Dalam konteks ini, kedaulatan pangan tidak hanya berarti swasembada, tetapi juga berdiri di atas kaki sendiri tanpa bergantung pada fluktuasi pasar global, tanpa gentar menghadapi krisis rantai pasok internasional, dan tanpa harus menggadaikan masa depan pertaniannya demi kepentingan jangka pendek.

Pangan adalah urusan hidup dan mati. Dalam sejarah panjang peradaban, banyak konflik besar dipicu oleh ketidakmampuan suatu bangsa mengelola sumber pangannya sendiri. Ketika pangan langka, rakyat resah, ekonomi limbung, dan stabilitas sosial terancam. Indonesia, dengan keberagaman hayati dan kesuburan tanah yang luar biasa, seharusnya tak perlu mengalami itu semua. Namun sayangnya, kita masih menyaksikan ironi: negeri subur ini masih rutin mengimpor beras, bawang putih, kedelai, hingga jagung, bahkan pada saat musim panen lokal.

Inilah mengapa kebijakan menaikkan harga gabah menjadi simbol penting. Ia menegaskan bahwa negara mulai menempatkan petani sebagai aktor utama dalam perjuangan menuju kedaulatan pangan. Jika petani terus dibiarkan bertarung sendiri menghadapi pasar dan tengkulak, bagaimana mungkin kita bisa berdiri tegak sebagai bangsa yang bermartabat? Harga yang layak bagi petani adalah langkah pertama untuk memastikan bahwa pangan yang dihasilkan adalah hasil dari sistem yang adil dan berkelanjutan.

Namun perjuangan tak berhenti di sana. Kita harus menjaga agar semangat keberpihakan ini tidak tergelincir oleh tekanan jangka pendek seperti stabilitas harga konsumen semata. 

Sering kali, demi menekan inflasi pangan, negara justru memilih impor besar-besaran, yang akhirnya menekan harga hasil panen lokal dan memukul petani sendiri. Ini adalah ironi yang harus diakhiri. Stabilitas harga memang penting, tapi ia tidak boleh mengorbankan masa depan pertanian nasional. Yang kita butuhkan adalah keseimbangan, antara menjaga daya beli masyarakat dan menjaga semangat juang petani.

Lebih jauh, kedaulatan pangan juga mencerminkan kehormatan kolektif kita sebagai bangsa. Negara yang merdeka secara politik, tetapi tidak merdeka secara pangan, akan selalu rentan terhadap intervensi. Maka, membangun kedaulatan pangan adalah bagian tak terpisahkan dari menjaga martabat nasional. Ini bukan semata soal hasil panen, tetapi soal harga diri.

Sudah saatnya kita memaknai pertanian sebagai sektor strategis, bukan hanya karena ia memberi makan, tapi karena ia adalah penjaga ketahanan bangsa. Kita perlu berhenti memandang petani sebagai kelas bawah yang hidup di pinggiran modernitas, dan mulai menempatkan mereka sebagai penjaga garis depan peradaban. Ketika negara hadir untuk melindungi dan memuliakan petani, saat itulah Indonesia benar-benar sedang menegakkan kedaulatannya, dari ladang, dari sawah, dan dari tangan-tangan yang menanam kehidupan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun