Mimpi menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia bukan sekadar jargon retoris. Ia lahir dari realitas geografis dan potensi alam yang tak tertandingi. Indonesia memiliki lebih dari 7 juta hektare lahan sawah, ribuan sungai, curah hujan melimpah, dan siklus musim yang memungkinkan petani menanam lebih dari satu kali dalam setahun. Dari sisi sumber daya manusia, jumlah petani mencapai lebih dari 33 juta jiwa, angkanya tertinggi di kawasan Asia Tenggara.Â
Dengan potensi sebesar ini, mustahil rasanya jika Indonesia terus bergantung pada beras impor setiap tahun. Namun sejarah mengajarkan, bahwa potensi yang besar bukan jaminan jika tidak diiringi dengan konsistensi kebijakan dan eksekusi lapangan yang terukur.
Salah satu elemen kunci menuju lumbung pangan dunia adalah produktivitas. Bukan hanya memperluas lahan, tapi memaksimalkan hasil dari lahan yang sudah ada.Â
Untuk itu, transformasi teknologi di sektor pertanian harus digenjot. Modernisasi alat pertanian, pemanfaatan big data untuk pola tanam, hingga penggunaan teknologi drone dan satelit untuk memantau pertumbuhan tanaman adalah keniscayaan.Â
Negara-negara seperti India, Tiongkok, dan Vietnam sudah melangkah jauh dalam hal ini. Jika Indonesia ingin bersaing sebagai eksportir utama pangan, tidak ada pilihan selain berinvestasi serius di sektor riset dan teknologi pertanian.
Namun adopsi teknologi tidak akan optimal jika tidak didukung oleh struktur kelembagaan yang kuat dan pendampingan berkelanjutan. Peran penyuluh pertanian lapangan (PPL) harus diperkuat, bukan dilemahkan.Â
Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah PPL terus menurun akibat minimnya rekrutmen dan rendahnya insentif. Padahal, mereka adalah ujung tombak di lapangan untuk mentransformasikan pengetahuan teknis kepada petani. Pemerintah pusat dan daerah perlu duduk bersama untuk menyusun skema insentif dan penguatan kapasitas PPL agar teknologi pertanian tidak hanya berhenti di ruang seminar atau laboratorium.
Tak kalah penting adalah pasar. Produksi yang melimpah tidak ada artinya jika pasar tidak tersedia atau dikuasai oleh tengkulak. Oleh karena itu, integrasi hulu-hilir dalam sistem pangan harus menjadi prioritas. Pemerintah perlu memfasilitasi sistem distribusi hasil pertanian yang adil dan transparan, termasuk mendorong BUMDes, koperasi tani, dan startup agritech sebagai jembatan antara petani dan konsumen akhir. Digitalisasi pasar hasil pertanian, melalui platform e-commerce berbasis local, juga dapat memperluas akses pasar dan memperpendek rantai distribusi yang selama ini merugikan petani.
Indonesia juga perlu mengamankan posisi di pasar ekspor global. Ini berarti produk pangan kita harus memenuhi standar mutu internasional. Sertifikasi Global GAP, praktik pertanian berkelanjutan, dan proses pascapanen yang memenuhi standar kebersihan dan efisiensi adalah syarat mutlak. Maka, pembangunan infrastruktur pascapanen seperti drying center, cold storage, dan fasilitas pengemasan modern harus digarap serius. Hanya dengan itu, Indonesia bisa bersaing dengan negara-negara agraris lainnya dan menyuplai kebutuhan pangan dunia secara konsisten.
Menjadi lumbung pangan dunia bukanlah pencapaian semalam. Ia menuntut langkah berani, investasi jangka panjang, dan yang paling penting konsistensi. Konsistensi dalam visi, dalam keberpihakan pada petani, dalam menjaga harga yang adil, dan dalam membangun ekosistem pertanian yang inklusif serta berdaya saing global. Jika arah kebijakan pertanian terus dijaga dan diperkuat dari waktu ke waktu, Indonesia bukan hanya bisa swasembada, tapi juga berdiri tegak sebagai penyedia pangan bagi dunia.
Kedaulatan Pangan, Martabat Bangsa