Kabar baik datang dari ladang-ladang padi di seluruh penjuru negeri. Pemerintah akhirnya menetapkan harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani menjadi Rp6.500 per kilogram, sebuah angka yang membawa harapan baru setelah sekian lama petani tercekik oleh harga jual yang tak sebanding dengan ongkos tanam.Â
Sebelumnya, harga GKP sempat berkisar di angka Rp5.000 hingga Rp5.500/kg, yang dalam banyak kasus justru membuat petani merugi, apalagi jika musim tanam sebelumnya harus menghadapi kenaikan harga pupuk, sewa lahan, atau gagal panen karena cuaca ekstrem. Dalam kondisi semacam itu, bertani bukan lagi ladang penghidupan, melainkan ladang perjuangan yang penuh ketidakpastian.
Maka, kenaikan ini bukan sekadar urusan angka. Ia adalah cermin dari arah keberpihakan negara, sebuah pernyataan bahwa pemerintah tidak tinggal diam melihat jerih payah petani tak dihargai sewajarnya.Â
Ini juga menjadi simbol keadilan ekonomi, sebab sektor pertanian bukan hanya tulang punggung pangan nasional, tetapi juga penyerap tenaga kerja terbesar dan penyangga ekonomi desa.Â
Selama bertahun-tahun, sektor ini berjalan dalam bayang-bayang modernisasi sektor lain, tanpa perlindungan harga yang memadai. Ketika industri dan perdagangan mendapat insentif besar, petani justru bertaruh hidup dari harga pasar yang fluktuatif dan minim intervensi.
Kini, kebijakan harga gabah yang lebih layak memberi secercah harapan bahwa nasib petani bisa berubah. Mereka yang selama ini merasa dipinggirkan, kini merasa didengar.Â
Apresiasi pun berdatangan dari berbagai daerah. Di Jawa, Sumatra, hingga Sulawesi, banyak petani menyambut kebijakan ini dengan optimisme baru. Mereka mulai menghitung kembali luas lahan yang akan digarap, merencanakan pola tanam yang lebih produktif, dan bahkan membuka peluang regenerasi pertanian melalui anak-anak muda yang selama ini enggan turun ke sawah karena hasilnya tak menjanjikan. Dalam konteks ini, kebijakan harga gabah bukan hanya tentang kesejahteraan, tapi tentang masa depan. Masa depan pangan Indonesia.
Dari Sawah ke Swasembada: Peluang Baru di Tengah Tantangan Lama
Kenaikan harga gabah menjadi pemantik semangat baru di kalangan petani. Mereka yang sempat putus asa karena tak mampu menutup ongkos produksi, kini mulai melihat pertanian sebagai aktivitas yang kembali bernilai ekonomi.Â
Di banyak wilayah, petani mulai menggencarkan aktivitas tanam, mengolah lahan yang sempat terbengkalai, dan bahkan menjalin kemitraan baru dengan koperasi atau lembaga keuangan demi memperluas usaha tani mereka.Â