Mohon tunggu...
Muhaimin Kasum
Muhaimin Kasum Mohon Tunggu... Praktisi Pendidikan

Saya hobi olahraga dan suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mati Suri

30 September 2025   09:49 Diperbarui: 30 September 2025   09:49 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Ilustrasi Mati Suri

Aku sendiri tak tahu apa yang sedang berputar di kepalaku, perjalanan kali ini terasa lain, ada perasaan tak enak yang tak bisa kujelaskan. Seolah ada sesuatu yang menguntit dari belakang, mendorongku untuk memacu motor lebih cepat, meski jalanan di depanku bukan jalan yang bersahabat. Kabut tipis menutup badan jalan, membuat pandangan terasa sempit, semakin menanjak, kabut kian tebal, seperti tirai putih yang menutup dunia.

Padahal aku sudah berkali-kali melewati jalan ini. Tapi kali in ada sesuatu yang berbeda, sejak aku pamit pada istri dan anak-anak tadi, tatapan mereka begitu lama menahan....seakan tak mau melepasku, dorongan yang entah dari mana itu memaksaku berangkat cepat. Kekuatan batin mencoba menahan, bertanya-tanya: ada apa ini? Tapi dorongan itu terlalu kuat, tak terbendung.

Kabut makin pekat, pandanganku kini hanya sejauh dua meter, motor terus melaju melewati tanjakan dan tikungan tajam, aku berusaha mengendalikan, tapi seolah motor ini tak mau patuh, rem seperti tak berfungsi. Semakin kutahan, semakin ia melaju cepat.

"BRAKS!"

Benturan keras menghantam tubuhku, sesaat saja aku merasa terhempas, lalu entah kenapa... tubuh ini terasa ringan, nyaman, hempasan yang kuat aku seperti melayang sejenak gelap dan aku sudah menyandarkan diri pada sebongkah batu di atas bukit. Dari sana, aku melihat ke bawah, orang-orang mulai berkerumun, sebuah mobil ringsek bodi depannya, beberapa orang berusaha mengevakuasi sopir yang terjepit, ada yang lain menunjuk-nunjuk ke bawah jurang.

Aku memandang jauh ke bawah, di pinggir sungai, di atas batu, tergeletak sebuah tubuh, aku terhenyak, berulang kali aku mengedipkan mata, berharap pandangan itu berubah. Tapi tidak tubuh yang tergeletak itu..... diriku sendiri.

"Lalu... siapa aku sekarang? Aku di mana?" gumamku lirih.

"Tak usah dibuat bingung," suara itu tiba-tiba muncul, dalam dan berat, tapi terasa akrab. "Ini semua sudah aku rencanakan sejak lama."

Aku menoleh. Seorang lelaki berbaju hitam dan celana hitam duduk mendekat, tersenyum padaku. Senyumnya membuat udara di sekitarku semakin dingin.

"Coba ingat," lanjutnya, "kamu kenal aku, kan? Dulu sekali... saat kamu mencoba mencari tahu kehidupan di alam lain."

Aku berusaha mengingat, memeras kenangan yang sudah lama terkubur.

"Saat kamu mengembara di alam halus," katanya pelan, "kamu sempat bingung mencari jalan pulang. Di situlah pertama kali kita bertemu. Setelah itu, di saat-saat tertentu kamu datang padaku. Kita menjelajah jauh, kemana pun kita suka..."

Deg! Dadaku berdetak kencang, seolah mau pecah. Perlahan aku mulai mengerti. Ini bukan dunia nyata. Aku berada di alam halus. Dan dia...

"Paman Sedayu..." suaraku bergetar. "Aku sudah melepaskan semua yang dulu pernah aku lakukan. Maafkan aku, Paman. Aku pernah mengganggumu..."

Paman Sedayu tersenyum, matanya berkilat seperti bara api. "Justru itu Sekarang aku ingin mengajakmu bersenang-senang di alam halus, di sini kamu bisa melakukan apa pun yang kamu mau kamu tak akan mati seperti di alam mu."

Aku tertunduk, pasrah semua yang dulu kupelajari tentang cara lepas dan kembali ke alam nyata sudah kulepaskan, aku tak tahu harus bagaimana lagi, dari kejauhan, aku melihat tubuhku sendiri diangkat dan dimasukkan ke mobil ambulans.

"Ayo..." kata Paman Sedayu sambil mengulurkan tangan. "Kita ikuti mobil itu. Kehidupanmu di alam halus ini belum sempurna sebelum aku mengambil wada tempatmu bersemayam. Dengan wadag itu nanti kamu bisa melakukan sesukamu di alam nyata... dan di alam halus sesuka hatimu."

Tanganku ditariknya, dalam sekejap kami sudah melesat, tiba di depan rumahku sendiri.

**

Begitu banyak orang berkumpul di sekitar rumah, wajah-wajah itu kukenal semua, tetangga, sahabat, kerabat dekat. Aku bisa mendengar jelas setiap kata yang mereka ucapkan, membicarakan kejadian yang baru saja menimpaku.

"Ini sungguh aneh," ucap Tresno sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Tubuh jatuh dari ketinggian puluhan meter, terbentur pohon dan tebing, tapi tetap utuh... tak ada lecet sama sekali."

Bambang menimpali, suaranya penuh takjub sekaligus ngeri. "Yang lebih aneh lagi, lokasi jatuhnya jauh dari tempat kejadian, masak tubuh sebesar itu bisa terbawa angin, lalu diletakkan di atas batu, bukan terhempas begitu saja?"

Aku terisak. Tangisku terasa kering, tanpa air mata, tapi sesak menekan dada, penyesalan datang bertubi-tubi. Semua yang kulakukan di masa lalu, semua yang kubuka dari dunia gaib, kini membawa langkahku ke kehidupan yang tak pernah kuharapkan.

Aku melihat istriku... wajahnya pucat, matanya kosong penuh keterkejutan, anak-anakku menangis histeris, suara mereka menusuk jiwaku, teman-teman baikku berdiri di sekeliling, terdiam dalam duka. Mereka semua merasa kehilangan, aku ingin berteriak, ingin memeluk mereka, tapi aku hanya bayangan yang tak mampu menyentuh.

"Tenang," suara Paman Sedayu masuk ke telingaku, dingin dan menenangkan sekaligus menakutkan. "Tak usah terlalu bersedih, kau nanti akan lebih senang setelah aku ambil wadagmu di saat penguburan nanti, kau akan bebas melakukan apa pun di alam ini."

Matanya menyipit, senyum tipis merekah di wajah hitam legam itu. "Kau juga bisa menikmati kehidupan yang tidak terikat apa pun, termasuk... memperbudak manusia."

Kata-katanya menusuk, bukannya menggoda, tawaran itu justru membuatku semakin muak, tapi aku tak bisa melawan, aku terlalu lemah, dan kuasa Paman Sedayu begitu besar.

Tiba-tiba, hembusan angin menyentuh telingaku lembut, seolah ada yang berbisik aku menoleh, di antara kerumunan, kulihat Pak Rozak menatap lurus ke arahku, matanya tajam, penuh isyarat, seketika hatiku bergetar, ia bisa melihatku!

Desiran angin itu berubah menjadi suara, lirih namun jelas. "Alihkan perhatian bangsa halus itu, jangan biarkan ia merebut wadagmu."

Aku tercekat, dadaku bergemuruh, ada secercah harapan.

Tak lama kemudian, kulihat Pak Rozak melangkah masuk ke rumah, mendekati wadagku yang terbaring tenang di atas tikar, ditutupi kain batik. Aku menangkap maksudnya, tanpa menunggu lama, aku menjauh dari tubuh itu, berharap langkahku tak terbaca.

"Paman Sedayu," ucapku sambil menahan getar suara, "aku tak tega melihat wadagku dibungkus kain kafan."

Paman Sedayu menoleh, senyumnya tetap sama. "Itu sementara saja, Nak. Saat dikubur nanti, wadagmu akan aku ambil, lalu kusatukan kembali dengan sukma. Kau akan merasakan kekuatan yang belum pernah kau bayangkan sebelumnya."

Aku menunduk, menutup wajah sedihku dengan kepura-puraan. "Paman... biarkan mereka mengurus jasadku, aku ingin menenangkan diri sejenak, melihat hijaunya alam semesta, hanya itu permintaanku."

Sejenak ia menatapku dalam, seakan membaca isi hatiku, ada kekhawatiran di wajahnya..... seperti seorang predator yang takut buruannya lepas, namun ia tetap mengangguk perlahan.

"Baiklah, Nak. Kita akan pergi ke tempat yang nyaman, sambil menunggu proses penguburan selesai."

Tangannya yang dingin menggenggam tanganku seketika tubuhku melesat bersama dirinya, meninggalkan rumah tempat wadagku disemayamkan. Dalam sekejap, dunia sekeliling berubah.

***

Setelah masuk ke dalam rumah, Pak Rozak segera mendekati wadag Satrio yang terbujur kaku tanpa hembusan napas tangannya meraba dada, lalu kepala, kemudian memijat-mijat ujung kaki, pada jari jempol, ia menekan kuat-kuat, matanya terpejam, bibirnya berkomat-kamit melafalkan doa. Semua orang yang hadir memperhatikan dengan penuh harap, sekilas tampak sebuah senyum kecil terlukis di wajahnya.

"Bagaimana, Pak, bolehkah saya segera memandikan mayat ini?" tanya Ndofar dengan hati-hati, meminta izin untuk melanjutkan prosesi.

"Jangan dulu. Biarkan saja terbaring di situ," jawab Pak Rozak tegas, seolah sudah menyiapkan sesuatu.

Ia lalu memandang Ndofar dengan serius. "Umumkan pada para pelayat, katakan bahwa akan ada acara keluarga tertutup semua tamu mohon meninggalkan rumah."

Tanpa menunggu lama, Ndofar keluar untuk menjalankan perintah, perlahan, ruang tengah menjadi hening, istri dan anak-anak Satrio tetap duduk di sisi jasadnya, terisak pilu, beberapa kerabat masih berkumpul, sementara Pak Rozak tampak berbincang singkat, seakan mengatur rencana yang lebih besar.

Tiba-tiba ia berkata lantang, "Satrio belum meninggal."

Serentak ruangan berguncang oleh rasa terperanjat, mata istri, anak, dan saudara-saudara Satrio menatap penuh penasaran.

"Roh Satrio kini dikuasai oleh makhluk dari alam lelembut," lanjutnya, membuat hening semakin mencekam.

Dengan tenang ia menambahkan, "Aku akan mengambilnya kembali, mengembalikan roh itu ke dalam wadag yang kini terbaring, untuk itu, aku minta seluruh keluarga berkumpul di ujung kaki Satrio, terus melafalkan surat Al-Fatihah tanpa henti, sementara yang lain berdiri dari arah kepala sampai pintu depan, melantunkan surat Al-Ikhlas. Semuanya, sucikan diri terlebih dahulu, ambillah air wudhu."

Orang-orang pun bergegas mematuhi.

Tak lama, pemandangan aneh tampak di depan rumah, sebuah segi empat dari bambu kuning berdiri, seukuran tubuh Satrio, dibuat oleh Ndofar dan beberapa lelaki bingkai itu dihias dengan bunga mawar putih dan daun pandan, tampak sederhana namun menyimpan aura gaib.

Pak Rozak memeriksa seluruh persiapan, ia berjalan mengelilingi jasad Satrio, matanya sedikit terpejam, ubun-ubun jasad itu diusap lembut, doa lirih terucap dari bibirnya, lalu ia duduk bersila tepat di hadapan segi empat bambu kuning yang terpasang di pintu.

Suara bacaan Al-Fatihah dan Al-Ikhlas menggema, berlapis-lapis, mengguncang dada siapa saja yang mendengar. Getarannya menembus udara, membentuk daya tarik dan daya dorong yang kuat. Tubuh Pak Rozak diam, matanya tertutup rapat, napasnya mengalir pelan.

"Satrio... saatnya kembali."

Desiran angin lembut menyapu telinga roh Satrio, ia berdiri di tepi hutan gaib bersama Paman Sedayu. Dari kejauhan, samar-samar tampak cahaya putih keemasan memancar di antara kabut, suara itu tenang namun tegas, seperti panggilan dari rumah.

Sekilas, ia menangkap bayangan Pak Rozak yang duduk bersila, matanya terpejam, kedua tangannya seolah mengisyaratkan agar ia menjauh dari lingkaran lelembut.

"Paman, aku hendak mengambil buah durian di sebelah sana," ucap Satrio datar, menyembunyikan kegelisahannya.

"Pergilah, tapi cepat Kembali, kita akan segera pulang ke rumahmu," jawab Paman Sedayu, masih asyik memainkan air jernih yang mengalir di sela kakinya, duduk di atas batu besar.

Satrio melangkah melayang ke arah pohon durian, tatapannya melirik ke belakang, memastikan pamannya tidak curiga. Ia terus berjalan menjauh, mendekati pancaran cahaya itu.

Namun ketika Paman Sedayu menyadari Satrio tak kunjung kembali, matanya menajam, menembus rimbun hutan, ia tidak menemukan jejaknya. Badannya berbalik, dan dari kejauhan terlihat Satrio tengah digandeng seseorang, berjalan cepat meninggalkan tempat.

"Ke mana kau hendak membawa manusia itu, hai busuk!" teriak Paman Sedayu dengan amarah, tubuhnya melayang cepat mengejar.

Sementara itu, Pak Rozak menggandeng roh Satrio, melayang menuju segi empat bambu kuning, saat hampir tiba, Sedayu semakin dekat, wajahnya penuh murka.

"Brak!" Tubuh Satrio bergetar keras ketika melewati bingkai bambu kuning, jasadnya di rumah terguncang, namun bacaan doa dari para kerabat tidak terputus, suasana hening penuh kekuatan.

Pak Rozak membuka mata, berdiri tegak, menatap tajam ke luar rumah. "Hei, makhluk lelembut! Kau tak berhak menguasai tubuh manusia, alam kita berbeda kembalilah, jangan pernah lagi kau ganggu manusia!"

Paman Sedayu meraung di luar, menatap segi empat bambu yang tak bisa ditembus. Dari pintu, tampak cahaya panas menyala, seolah mampu membakar tubuhnya.

"Kau manusia biadab! Berani menggagalkan rencanaku! Ini belum selesai, aku akan mengambilnya kembali!" serunya penuh amarah.

Pak Rozak tersenyum tipis. "Kaget kau, Sedayu? Ragu kau kini? Karena kekuatan Robb semesta alamlah yang menghalangimu, setelah roh Satrio kembali tenang menyatu dengan wadagnya, kau tak bisa berbuat apa pun."

"Dasar manusia busuk! Aku akan Kembali aku akan menguasai mereka yang mau hidup kekal bersamaku!" Paman Sedayu berteriak, lalu melayang menghilang di balik kabut.

Pak Rozak berbalik pada keluarga. "Jangan berhenti melafalkan doa hingga roh dan tubuh Satrio benar-benar menyatu."

Ia mendekat, meraba dada Satrio, perlahan jantungnya berdetak lagi, aliran darah mulai bergerak nafasnya belum stabil, tapi tanda-tanda kehidupan kembali tampak. Pak Rozak terus mengawasi, membiarkan tubuh itu terbaring hingga roh dan wadag benar-benar tenang Kembali dalam kehidupan nyata.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun