Tiba-tiba ia berkata lantang, "Satrio belum meninggal."
Serentak ruangan berguncang oleh rasa terperanjat, mata istri, anak, dan saudara-saudara Satrio menatap penuh penasaran.
"Roh Satrio kini dikuasai oleh makhluk dari alam lelembut," lanjutnya, membuat hening semakin mencekam.
Dengan tenang ia menambahkan, "Aku akan mengambilnya kembali, mengembalikan roh itu ke dalam wadag yang kini terbaring, untuk itu, aku minta seluruh keluarga berkumpul di ujung kaki Satrio, terus melafalkan surat Al-Fatihah tanpa henti, sementara yang lain berdiri dari arah kepala sampai pintu depan, melantunkan surat Al-Ikhlas. Semuanya, sucikan diri terlebih dahulu, ambillah air wudhu."
Orang-orang pun bergegas mematuhi.
Tak lama, pemandangan aneh tampak di depan rumah, sebuah segi empat dari bambu kuning berdiri, seukuran tubuh Satrio, dibuat oleh Ndofar dan beberapa lelaki bingkai itu dihias dengan bunga mawar putih dan daun pandan, tampak sederhana namun menyimpan aura gaib.
Pak Rozak memeriksa seluruh persiapan, ia berjalan mengelilingi jasad Satrio, matanya sedikit terpejam, ubun-ubun jasad itu diusap lembut, doa lirih terucap dari bibirnya, lalu ia duduk bersila tepat di hadapan segi empat bambu kuning yang terpasang di pintu.
Suara bacaan Al-Fatihah dan Al-Ikhlas menggema, berlapis-lapis, mengguncang dada siapa saja yang mendengar. Getarannya menembus udara, membentuk daya tarik dan daya dorong yang kuat. Tubuh Pak Rozak diam, matanya tertutup rapat, napasnya mengalir pelan.
"Satrio... saatnya kembali."
Desiran angin lembut menyapu telinga roh Satrio, ia berdiri di tepi hutan gaib bersama Paman Sedayu. Dari kejauhan, samar-samar tampak cahaya putih keemasan memancar di antara kabut, suara itu tenang namun tegas, seperti panggilan dari rumah.
Sekilas, ia menangkap bayangan Pak Rozak yang duduk bersila, matanya terpejam, kedua tangannya seolah mengisyaratkan agar ia menjauh dari lingkaran lelembut.