"Paman, aku hendak mengambil buah durian di sebelah sana," ucap Satrio datar, menyembunyikan kegelisahannya.
"Pergilah, tapi cepat Kembali, kita akan segera pulang ke rumahmu," jawab Paman Sedayu, masih asyik memainkan air jernih yang mengalir di sela kakinya, duduk di atas batu besar.
Satrio melangkah melayang ke arah pohon durian, tatapannya melirik ke belakang, memastikan pamannya tidak curiga. Ia terus berjalan menjauh, mendekati pancaran cahaya itu.
Namun ketika Paman Sedayu menyadari Satrio tak kunjung kembali, matanya menajam, menembus rimbun hutan, ia tidak menemukan jejaknya. Badannya berbalik, dan dari kejauhan terlihat Satrio tengah digandeng seseorang, berjalan cepat meninggalkan tempat.
"Ke mana kau hendak membawa manusia itu, hai busuk!" teriak Paman Sedayu dengan amarah, tubuhnya melayang cepat mengejar.
Sementara itu, Pak Rozak menggandeng roh Satrio, melayang menuju segi empat bambu kuning, saat hampir tiba, Sedayu semakin dekat, wajahnya penuh murka.
"Brak!" Tubuh Satrio bergetar keras ketika melewati bingkai bambu kuning, jasadnya di rumah terguncang, namun bacaan doa dari para kerabat tidak terputus, suasana hening penuh kekuatan.
Pak Rozak membuka mata, berdiri tegak, menatap tajam ke luar rumah. "Hei, makhluk lelembut! Kau tak berhak menguasai tubuh manusia, alam kita berbeda kembalilah, jangan pernah lagi kau ganggu manusia!"
Paman Sedayu meraung di luar, menatap segi empat bambu yang tak bisa ditembus. Dari pintu, tampak cahaya panas menyala, seolah mampu membakar tubuhnya.
"Kau manusia biadab! Berani menggagalkan rencanaku! Ini belum selesai, aku akan mengambilnya kembali!" serunya penuh amarah.
Pak Rozak tersenyum tipis. "Kaget kau, Sedayu? Ragu kau kini? Karena kekuatan Robb semesta alamlah yang menghalangimu, setelah roh Satrio kembali tenang menyatu dengan wadagnya, kau tak bisa berbuat apa pun."