Bambang menimpali, suaranya penuh takjub sekaligus ngeri. "Yang lebih aneh lagi, lokasi jatuhnya jauh dari tempat kejadian, masak tubuh sebesar itu bisa terbawa angin, lalu diletakkan di atas batu, bukan terhempas begitu saja?"
Aku terisak. Tangisku terasa kering, tanpa air mata, tapi sesak menekan dada, penyesalan datang bertubi-tubi. Semua yang kulakukan di masa lalu, semua yang kubuka dari dunia gaib, kini membawa langkahku ke kehidupan yang tak pernah kuharapkan.
Aku melihat istriku... wajahnya pucat, matanya kosong penuh keterkejutan, anak-anakku menangis histeris, suara mereka menusuk jiwaku, teman-teman baikku berdiri di sekeliling, terdiam dalam duka. Mereka semua merasa kehilangan, aku ingin berteriak, ingin memeluk mereka, tapi aku hanya bayangan yang tak mampu menyentuh.
"Tenang," suara Paman Sedayu masuk ke telingaku, dingin dan menenangkan sekaligus menakutkan. "Tak usah terlalu bersedih, kau nanti akan lebih senang setelah aku ambil wadagmu di saat penguburan nanti, kau akan bebas melakukan apa pun di alam ini."
Matanya menyipit, senyum tipis merekah di wajah hitam legam itu. "Kau juga bisa menikmati kehidupan yang tidak terikat apa pun, termasuk... memperbudak manusia."
Kata-katanya menusuk, bukannya menggoda, tawaran itu justru membuatku semakin muak, tapi aku tak bisa melawan, aku terlalu lemah, dan kuasa Paman Sedayu begitu besar.
Tiba-tiba, hembusan angin menyentuh telingaku lembut, seolah ada yang berbisik aku menoleh, di antara kerumunan, kulihat Pak Rozak menatap lurus ke arahku, matanya tajam, penuh isyarat, seketika hatiku bergetar, ia bisa melihatku!
Desiran angin itu berubah menjadi suara, lirih namun jelas. "Alihkan perhatian bangsa halus itu, jangan biarkan ia merebut wadagmu."
Aku tercekat, dadaku bergemuruh, ada secercah harapan.
Tak lama kemudian, kulihat Pak Rozak melangkah masuk ke rumah, mendekati wadagku yang terbaring tenang di atas tikar, ditutupi kain batik. Aku menangkap maksudnya, tanpa menunggu lama, aku menjauh dari tubuh itu, berharap langkahku tak terbaca.
"Paman Sedayu," ucapku sambil menahan getar suara, "aku tak tega melihat wadagku dibungkus kain kafan."