Aku berusaha mengingat, memeras kenangan yang sudah lama terkubur.
"Saat kamu mengembara di alam halus," katanya pelan, "kamu sempat bingung mencari jalan pulang. Di situlah pertama kali kita bertemu. Setelah itu, di saat-saat tertentu kamu datang padaku. Kita menjelajah jauh, kemana pun kita suka..."
Deg! Dadaku berdetak kencang, seolah mau pecah. Perlahan aku mulai mengerti. Ini bukan dunia nyata. Aku berada di alam halus. Dan dia...
"Paman Sedayu..." suaraku bergetar. "Aku sudah melepaskan semua yang dulu pernah aku lakukan. Maafkan aku, Paman. Aku pernah mengganggumu..."
Paman Sedayu tersenyum, matanya berkilat seperti bara api. "Justru itu Sekarang aku ingin mengajakmu bersenang-senang di alam halus, di sini kamu bisa melakukan apa pun yang kamu mau kamu tak akan mati seperti di alam mu."
Aku tertunduk, pasrah semua yang dulu kupelajari tentang cara lepas dan kembali ke alam nyata sudah kulepaskan, aku tak tahu harus bagaimana lagi, dari kejauhan, aku melihat tubuhku sendiri diangkat dan dimasukkan ke mobil ambulans.
"Ayo..." kata Paman Sedayu sambil mengulurkan tangan. "Kita ikuti mobil itu. Kehidupanmu di alam halus ini belum sempurna sebelum aku mengambil wada tempatmu bersemayam. Dengan wadag itu nanti kamu bisa melakukan sesukamu di alam nyata... dan di alam halus sesuka hatimu."
Tanganku ditariknya, dalam sekejap kami sudah melesat, tiba di depan rumahku sendiri.
**
Begitu banyak orang berkumpul di sekitar rumah, wajah-wajah itu kukenal semua, tetangga, sahabat, kerabat dekat. Aku bisa mendengar jelas setiap kata yang mereka ucapkan, membicarakan kejadian yang baru saja menimpaku.
"Ini sungguh aneh," ucap Tresno sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Tubuh jatuh dari ketinggian puluhan meter, terbentur pohon dan tebing, tapi tetap utuh... tak ada lecet sama sekali."