Mohon tunggu...
Muhaimin Kasum
Muhaimin Kasum Mohon Tunggu... Praktisi Pendidikan

Saya hobi olahraga dan suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mati Suri

30 September 2025   09:49 Diperbarui: 30 September 2025   09:49 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Ilustrasi Mati Suri

Paman Sedayu menoleh, senyumnya tetap sama. "Itu sementara saja, Nak. Saat dikubur nanti, wadagmu akan aku ambil, lalu kusatukan kembali dengan sukma. Kau akan merasakan kekuatan yang belum pernah kau bayangkan sebelumnya."

Aku menunduk, menutup wajah sedihku dengan kepura-puraan. "Paman... biarkan mereka mengurus jasadku, aku ingin menenangkan diri sejenak, melihat hijaunya alam semesta, hanya itu permintaanku."

Sejenak ia menatapku dalam, seakan membaca isi hatiku, ada kekhawatiran di wajahnya..... seperti seorang predator yang takut buruannya lepas, namun ia tetap mengangguk perlahan.

"Baiklah, Nak. Kita akan pergi ke tempat yang nyaman, sambil menunggu proses penguburan selesai."

Tangannya yang dingin menggenggam tanganku seketika tubuhku melesat bersama dirinya, meninggalkan rumah tempat wadagku disemayamkan. Dalam sekejap, dunia sekeliling berubah.

***

Setelah masuk ke dalam rumah, Pak Rozak segera mendekati wadag Satrio yang terbujur kaku tanpa hembusan napas tangannya meraba dada, lalu kepala, kemudian memijat-mijat ujung kaki, pada jari jempol, ia menekan kuat-kuat, matanya terpejam, bibirnya berkomat-kamit melafalkan doa. Semua orang yang hadir memperhatikan dengan penuh harap, sekilas tampak sebuah senyum kecil terlukis di wajahnya.

"Bagaimana, Pak, bolehkah saya segera memandikan mayat ini?" tanya Ndofar dengan hati-hati, meminta izin untuk melanjutkan prosesi.

"Jangan dulu. Biarkan saja terbaring di situ," jawab Pak Rozak tegas, seolah sudah menyiapkan sesuatu.

Ia lalu memandang Ndofar dengan serius. "Umumkan pada para pelayat, katakan bahwa akan ada acara keluarga tertutup semua tamu mohon meninggalkan rumah."

Tanpa menunggu lama, Ndofar keluar untuk menjalankan perintah, perlahan, ruang tengah menjadi hening, istri dan anak-anak Satrio tetap duduk di sisi jasadnya, terisak pilu, beberapa kerabat masih berkumpul, sementara Pak Rozak tampak berbincang singkat, seakan mengatur rencana yang lebih besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun