Atau ingatlah sosok Cut Nyak Dien, pejuang perempuan Aceh yang memimpin pasukan melawan penjajah setelah suaminya gugur. Dalam keterbatasan fisik dan usia, ia tetap menolak menyerah. Api kemerdekaan dalam dirinya tak padam, meski di tengah hutan dan penderitaan panjang.
Kisah-kisah seperti ini bukan sekadar fragmen masa lalu. Mereka adalah nyala api yang menyala dari generasi ke generasi, menuntut untuk dihidupkan kembali di zaman kita.
Makna Cahaya dalam Kemerdekaan
“Cahaya” dalam konteks kemerdekaan bukanlah sekadar simbol indah. Ia adalah penerang di tengah kegelapan zaman, penunjuk arah ketika jalan berliku, penghangat saat persatuan terasa dingin. Cahaya ini lahir dari tiga hal:
- Keberanian – untuk melawan ketidakadilan, meski sendirian.
- Integritas – untuk tetap jujur dan bersih, meski peluang curang terbuka lebar.
- Persatuan – untuk mengutamakan bangsa di atas kepentingan pribadi atau kelompok.
Tanpa keberanian, kemerdekaan rapuh. Tanpa integritas, kemerdekaan ternodai. Tanpa persatuan, kemerdekaan bisa retak.
"Kita tidak mewarisi kemerdekaan untuk disimpan, tetapi untuk dinyalakan kembali setiap hari — di hati, di kata, dan di perbuatan."
— Ahmad Husen, Penulis Cahaya & Penggagas Trilogi Cahaya
Tantangan Generasi Hari Ini
Hari ini, kita tidak lagi menghadapi moncong senjata atau kapal perang di pelabuhan. Tetapi kita menghadapi bentuk penjajahan yang lebih halus dan kadang tak terlihat:
- Penjajahan informasi: hoaks, ujaran kebencian, dan fitnah yang memecah belah bangsa.
- Penjajahan mental: rasa malas, apatis, dan hilangnya rasa tanggung jawab sosial.
- Penjajahan ekonomi: gaya hidup konsumtif yang membuat kita bergantung pada produk dan ide dari luar tanpa mengembangkan potensi dalam negeri.
Pertanyaannya, apakah kita masih memiliki keberanian seperti Bung Tomo, keteguhan seperti Cut Nyak Dien, dan ketulusan seperti pahlawan lainnya?