Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Karya Sastra Indonesia antara Titipan Religius dan Proses Dinamika

24 Juli 2015   08:55 Diperbarui: 24 Juli 2015   22:07 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sangat  jelas terlihat perbedaan gaya dan bentuk, juga celah yang diambil oleh mereka bertiga. Hal tersebut tidaklah mengherankan jika mengingat bahwa seni itu sendiri, pada hakekatnya sangatlah bebas dalam bergerak, serta tidak pernah berhasil terikat oleh batasan apapun. Semuanya bergantung pada keunikan dari masing-masing pembuat seni tersebut, yang bersumber pada wawasan dan pandangan hidup yang mereka miliki.

Kemudian kita akan kembali mahfum ketika banyak novel dan kisah yang disajikan oleh Cak Nun (Emha Ainun Najib-Red) dalam kerangka mengapresiasi nilai seni yang ada pada dirinya, sekali lagi memasuki ranah Ketuhanan. Dengan gaya Cak Nun yang khas, disodorkan wacana yang  paling nyentrik, sehingga agama dan moral yang menyelilit ataupun dengan amat terang ingin dia sampaikan, menjadi fitrah yang wajar dan alami bagaikan proses bernafas bagi kehidupan manusia itu sendiri, juga tak terlepas dari nilai keindahannya.

Menurut Korrie Layun Rampan, pada tahun 2000 telah lahir suatu angkatan baru yang bersifat melankolik, yang diberi  nama sesuai dengan nama tahun kelahirannya, yaitu angkatan 2000. Angkatan 2000 ini memperlihatkan wawasan estetik yang lain dari angkatan sebelumnya. Kalau tidak memberontak –menurut Korrie- setidaknya mengembangkan estetika yang sudah ada.

Terlepas dari semua kriteria di atas, banyak sekali bermunculan novel-novel yang sangat religius khususnya yang berhubungan dengan  agama Islam. Banyak penulis-penulis bergenre Islami yang bermunculan. Bahkan penulis seniorpun seakan tidak ingin tertinggal dalam tren mode ini.

Tema-tema yang ada dalam tren religius inipun menawarkan pilihan yang cukup beragam. Mulai dari cerita tentang negeri muslim yang tertindas hingga kisah pergulatan bathin sang tokoh dalam menjalani kehidupannya yang berbenturan dengan peradaban sekuler. Fenomena ini demikian ajaibnya, sehingga seakan-akan kiblat karya sastra Indonesia pada periode waktu tertentu bergerak secara massal ke arah religius seluruhnya.

Setelah mengetahui semua fenomena yang ada dalam karya seni Indonesia –dalam hal ini karya sastra yang banyak mendapat "titipan"- parapelaku seni seakan-akan harus selalu ‘terjamah’ oleh nilai-nilai yang ada disekelilingnya ketika melakukan ritual seninya, sehingga mengakibatkan kesan bahwa seni hanyalah suatu alat untuk berpolitik, hanya sebagai wadah bagi penyebaran agama, atau hanya sebagai diklat bagi pengajaran tentang moral, hukum dan humaniora yang hanya bisa melahirkan karya sebagai imbas insidensial sebab akibat dari kejadian-kejadian yang berlangsung di sekelilingnya.

Tak dapatkah seni berdiri sendiri, bebas berekspresi untuk menampilkan keindahannya, yang hanya demi seni itu sendiri? Atau dapatkah kita menyodorkan suatu bentuk dan gaya dalam menulis karya sastra yang disajikan secara ironik, di mana ketika tujuan yang diinginkan adalah tentang moral, kita justru menampilkannya melalui rangkaian kejadian yang paling tidak bermoral, lengkap dengan penekanan akan segala konsekuensi yang berpotensi terjadi, misalnya? Atau bolehkah ketika kita ingin menyajikan tentang doktrin agama dalam karya sastra, alih-alih menampilkan apa-adanya secara linier, kita justru menampilkannya dalam bentuk yang sama sekali bertolak belakang seratus delapan puluh derajat?

Bukankah kita sering mendengar bahwa orang yang atheis adalah orang yang paling theis itu sendiri? Bisa jadi, suatu karya sastra akan mencapai tempat yang paling sempurna,  yang paling gemilang, ketika ia dibuat dan lahir dalam bentuk yang kacau, abstrak, dan tidak karuan wujudnya. Juga tak tertutup kemungkinan bahwa kesempurnaan adalah suatu batas terburuk yang paling khayali dan tak akan pernah bisa diperoleh melalui cara serta gaya yang biasa saja, melainkan justru harus dengan cara yang di luar kebiasaan umum. Tentu saja kesempurnaan yang dimaksudkan adalah suatu keadaan yang hanya mendekati kesempurnaan, karena kesempurnaan sejati tak lain dan tak bukan hanyalah milik Allah Yang Maha Sempurna.

Dengan adanya pemikiran ini, diharapkan dapat ditemukan alternatif pembuatan sebuah karya sastra dalam kerangka yang lebih luas sehingga menambah panjang daftar pilihan, juga untuk mendudukkan seni dan hasrat berkesenian itu sendiri pada tempat yang semestinya, yaitu sebagai ekspresi jiwa imanijasi manusia yang dituangkan ke dalam bentuk nyata, dengan tujuan memuaskan tanpa batasan apapun.

 

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun