Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Karya Sastra Indonesia antara Titipan Religius dan Proses Dinamika

24 Juli 2015   08:55 Diperbarui: 24 Juli 2015   22:07 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Ketika kita mencoba bertanya kepada seseorang tentang arti dari karya sastra, akan sangat banyak jawaban yang diperoleh. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari beragamnya latar belakang dari yang kita tanyai, baik latar belakang kehidupannya, maupun juga cara berpikir serta pengalaman sehari-hari yang dijalani.

Ada yang berpendapat bahwa karya sastra adalah sesuatu yang tidak berguna bagi masyarakat, tapi tak sedikit pula yang justru meyakini yang sebaliknya, dengan argumen bahwa dari karya sastra tersebut kemudian dapat di ketahui nyaris semua hal yang berkaitan dengan manusia pada peiode tertentu, mulai dari prilakunya, gaya hidup, budaya, agama  hingga tren mode apa yang tengah berkembang pada masa itu.

Dan semua itu menjadi amat penting kegunaannya, terutama sekali ketika kita ingin lebih memahami hikmah dari latar belakang suatu kejadian besar pada masa tertentu, yang biasanya terekam dalam sebuah karya sastra, sehingga diharapkan kita akan menjadi lebih bijak dalam bersikap dan bertindak dalam  menjalani hidup di masa setelahnya.

Karya sastra sebagai suatu produk buah manifestasi hasrat berkesenian manusia, tentu saja telah kita pahami bersama. Sejak zaman dahulu, Indonesia amat kaya akan segala hal yang dapat dianggap sebagai "Harta Bangsa", termasuk di dalamnya adalah karya sastra.

Masyarakat Indonesia termasuk masyarakat yang memiliki kreatifitas yang amat berlebih, dengan tingkat kemampuan yang jauh di atas rata-rata.

Banyak karya besar lahir di negara ini. Tidak terbatas hanya karya momumental bertaraf internasional seperti Borobudur, melainkan jauh lebih banyak lagi. Dan semuanya tersebar secara merata di seluruh penjuru negeri dan di setiap lapisan masyarakat yang sangat majemuk ini. Bahkan manusia pertama yang menemukan api (baca: Teknologi) di dunia, adalah manusia Indonesia dari ras Homo Wajakensis, yang fosilnya bersemayam di Desa Sangiran.

Semua itu adalah anugerah yang sangat besar dari Sang Pencipta. Dan menjadi amat terpuji jika kita turut menjaga serta melestarikannya. Syukur-syukur jika dapat pula turut serta dalam usaha pengembangannya ke arah yang lebih baik, selamanya. Dan barangkali itu tugas terpokok yang harus kita laksanakan.

 

***

Dalam tulisan kali ini saya mencoba untuk menampilkan beberapa uraian tentang kesenian Indonesia –khususnya dalam bentuk karya sastra- yang sangat tidak bebas akibat dari adanya "titipan" pihak-pihak di belakang layar pada periode waktu karya sastra tersebut dibuat.

Jika kita mengamati secara lebih seksama, akan tergambar jelas di layar kesenian kita bahwa sebenarnya hasrat berseni telah sangat dibatasi ruang geraknya. Para pelaku seni terbelenggu dengan sangat rapat dan kuat, hingga seringkali karya seni yang mereka hasilkan terasa samar kemurniannya.

Banyak karya sastra Indonesia yang hanya berfungsi sebagai alat politik, sarana penyebaran agama tertentu, atau sebagai bahan ajar untuk bidang moral, hukum dan humaniora. Tapi walaupun demikian, bukan berarti hal itu dapat serta-merta disimpulkan sebagai sebuah cacat ataupun keunggulan, melainkan lebih kepada ‘alarm’ tentang adanya perulangan akan pola-pola tertentu yang baiknya dipahami.

Tentang ajaran agama dalam karya sastra Indonesia sendiri telah sangat lama terjadi, yaitu sejak masa 2000 tahun sebelum masehi, pada periode awal Agama Hindu dan Budha masuk ke Indonesia.

Ketika itu, karya sastra yang mengandung semangat keagamaan diwakili oleh cerita Jataka Avadana untuk agama Budha, sementara kisah Tantri Kamandaka menjadi perwakilan Agama Hindu. Kedua cerita tersebut sangatlah indah serta mengandung gairah spiritual yang amat mendalam. Banyak hikmah yang bisa dipetik dari keduanya, terlepas dari apakah pembacanya penganut agama tersebut atau bukan.

Kemudian datang Agama Islam ke Indonesia. Melalui proses yang naturalisasi yang cukup panjang, persentuhan antar kebudayaan tersebut banyak melahirkan jalinan peradaban baru yang bernuansa Islami, namun dengan tetap mempertahankan keaslian dari akar kebudayaan yang sebelumnya, walau anehnya hal ini tak berlaku pada kebudayaan Animisme-Dinamisme.

Besar dugaan penulis, selain faktor penyembahan yang bukan kepada Tuhan, menghilangnya peradaban Animisme-Dinamisme dipengaruhi pula oleh amat minimnya karya seni berupa tulisan yang mereka miliki. Itupun jika tidak boleh dibilang tidak ada sama sekali, mengingat karya mereka yang paling mutakhir adalah rangkaian batu besar sejenis Dolmen dan Menhir –juga punden berundaknya, yang kemudian diadaptasi ulang oleh peradaban setelahnya-  atau paling puncak adalah rangkaian gambar aktivitas sehari-hari yang terukir di gua-gua pra sejarah.

Pada periode awal masuknya agama Islam, kita mengenal pewayangan versi Indonesia di mana tokoh-tokoh 'beraroma' Islam dibuat oleh Sunan Kalijaga, melalui karakter punakawan Semar (As Syamir), petruk, gareng dan lain-lain yang nama awal mereka berasal dari kosakata bahasa dan filosofi Arab.

Dalam konteks yang lebih modern, Amir Hamzah melalui puisinya selalu menekankan tentang Elan Ketuhanan, di mana Tuhan adalah segalanya dan alam semesta hanyalah sebuah pelengkap, termasuk manusia didalamnya. Bahwa ketaatan adalah sebuah kemutlakan yang hanya milik Robb Sang Pencipta Agung, sementara manusia ditampilkan dari sisi yang paling manusiawi, yaitu dalam keadaan lemah, penuh dosa dan putus asa.

Lain lagi ceritanya dengan  puisi- puisi yang ditampilkan oleh Sutardji Kalzom Bahri. Walau sekilas terkesan bagaikan ceracau dari orang gila yang tidak memiliki arti, atau bahkan memiliki kemiripan dengan mantra-mantra mistik pengusir hantu dari Zaman Purba, ternyata tetap mengandung semangat spiritual yang tak  kalah besarnya.

Amat berbeda dengan puisi karya Toto St Radik, dimana keajaiban kata serta imajinasi keadaan kerap terjadi. Dalam puisi- puisi Toto terkandung keberanian yang luar biasa tatkala merefleksikan pemikiran tentang Elan Ketuhanan yang dimilikinya, bahkan mungkin bisa dikategorikan sebagai: Nekat. Racikan kata-kata puitis yang dibuat Toto umumnya sangat sederhana, dengan kebiasaan uniknya yang langsung mengawinkan puisi buatannya dengan sumber hukum Islam tingkat tertinggi, yaitu Alqur'an dan Al-Haditst.

Dari ketiga orang ini, walaupun sama-sama mengekspresikan jiwa berkesenian dalam semangat  Ketuhanan yang sama tingginya, tetap saja memiliki perbedaan model serta gaya yang amat signifikan dalam penyampaiannya, meskipun sama-sama berbentuk puisi.

Sangat  jelas terlihat perbedaan gaya dan bentuk, juga celah yang diambil oleh mereka bertiga. Hal tersebut tidaklah mengherankan jika mengingat bahwa seni itu sendiri, pada hakekatnya sangatlah bebas dalam bergerak, serta tidak pernah berhasil terikat oleh batasan apapun. Semuanya bergantung pada keunikan dari masing-masing pembuat seni tersebut, yang bersumber pada wawasan dan pandangan hidup yang mereka miliki.

Kemudian kita akan kembali mahfum ketika banyak novel dan kisah yang disajikan oleh Cak Nun (Emha Ainun Najib-Red) dalam kerangka mengapresiasi nilai seni yang ada pada dirinya, sekali lagi memasuki ranah Ketuhanan. Dengan gaya Cak Nun yang khas, disodorkan wacana yang  paling nyentrik, sehingga agama dan moral yang menyelilit ataupun dengan amat terang ingin dia sampaikan, menjadi fitrah yang wajar dan alami bagaikan proses bernafas bagi kehidupan manusia itu sendiri, juga tak terlepas dari nilai keindahannya.

Menurut Korrie Layun Rampan, pada tahun 2000 telah lahir suatu angkatan baru yang bersifat melankolik, yang diberi  nama sesuai dengan nama tahun kelahirannya, yaitu angkatan 2000. Angkatan 2000 ini memperlihatkan wawasan estetik yang lain dari angkatan sebelumnya. Kalau tidak memberontak –menurut Korrie- setidaknya mengembangkan estetika yang sudah ada.

Terlepas dari semua kriteria di atas, banyak sekali bermunculan novel-novel yang sangat religius khususnya yang berhubungan dengan  agama Islam. Banyak penulis-penulis bergenre Islami yang bermunculan. Bahkan penulis seniorpun seakan tidak ingin tertinggal dalam tren mode ini.

Tema-tema yang ada dalam tren religius inipun menawarkan pilihan yang cukup beragam. Mulai dari cerita tentang negeri muslim yang tertindas hingga kisah pergulatan bathin sang tokoh dalam menjalani kehidupannya yang berbenturan dengan peradaban sekuler. Fenomena ini demikian ajaibnya, sehingga seakan-akan kiblat karya sastra Indonesia pada periode waktu tertentu bergerak secara massal ke arah religius seluruhnya.

Setelah mengetahui semua fenomena yang ada dalam karya seni Indonesia –dalam hal ini karya sastra yang banyak mendapat "titipan"- parapelaku seni seakan-akan harus selalu ‘terjamah’ oleh nilai-nilai yang ada disekelilingnya ketika melakukan ritual seninya, sehingga mengakibatkan kesan bahwa seni hanyalah suatu alat untuk berpolitik, hanya sebagai wadah bagi penyebaran agama, atau hanya sebagai diklat bagi pengajaran tentang moral, hukum dan humaniora yang hanya bisa melahirkan karya sebagai imbas insidensial sebab akibat dari kejadian-kejadian yang berlangsung di sekelilingnya.

Tak dapatkah seni berdiri sendiri, bebas berekspresi untuk menampilkan keindahannya, yang hanya demi seni itu sendiri? Atau dapatkah kita menyodorkan suatu bentuk dan gaya dalam menulis karya sastra yang disajikan secara ironik, di mana ketika tujuan yang diinginkan adalah tentang moral, kita justru menampilkannya melalui rangkaian kejadian yang paling tidak bermoral, lengkap dengan penekanan akan segala konsekuensi yang berpotensi terjadi, misalnya? Atau bolehkah ketika kita ingin menyajikan tentang doktrin agama dalam karya sastra, alih-alih menampilkan apa-adanya secara linier, kita justru menampilkannya dalam bentuk yang sama sekali bertolak belakang seratus delapan puluh derajat?

Bukankah kita sering mendengar bahwa orang yang atheis adalah orang yang paling theis itu sendiri? Bisa jadi, suatu karya sastra akan mencapai tempat yang paling sempurna,  yang paling gemilang, ketika ia dibuat dan lahir dalam bentuk yang kacau, abstrak, dan tidak karuan wujudnya. Juga tak tertutup kemungkinan bahwa kesempurnaan adalah suatu batas terburuk yang paling khayali dan tak akan pernah bisa diperoleh melalui cara serta gaya yang biasa saja, melainkan justru harus dengan cara yang di luar kebiasaan umum. Tentu saja kesempurnaan yang dimaksudkan adalah suatu keadaan yang hanya mendekati kesempurnaan, karena kesempurnaan sejati tak lain dan tak bukan hanyalah milik Allah Yang Maha Sempurna.

Dengan adanya pemikiran ini, diharapkan dapat ditemukan alternatif pembuatan sebuah karya sastra dalam kerangka yang lebih luas sehingga menambah panjang daftar pilihan, juga untuk mendudukkan seni dan hasrat berkesenian itu sendiri pada tempat yang semestinya, yaitu sebagai ekspresi jiwa imanijasi manusia yang dituangkan ke dalam bentuk nyata, dengan tujuan memuaskan tanpa batasan apapun.

 

***

Bahwa kesenian di Indonesia khususnya karya sastra, terlalu sarat dengan "titipan", sehingga pelaku seni seakan-akan hanya berfungsi sebagai alat demi pencapaian tujuan dan keinginan segelintir pihak, atau bahkan terjebak hanya sebagai suatu gejala yang insidental, sesuai dengan perkembangan situasi yang terjadi, atau sesuai dengan pesanan kelompok dan pihak tertentu.

Bahwa  harus mulai berpikir luas untuk membuka lebih banyak lagi alternatif dalam penciptaan suatu karya sastra. Bisa jadi, sebuah karya sastra yang ingin ditujukan untuk perbaikan moral, agama, bahkan humaniora, dapat di sajikan dalam bentuk yang sama sekali bertolak belakang. Dan tak tertutup pula kemungkinan bahwa suatu karya seni yang baik adalah yang mutu, gaya dan bentuknya paling tidak baik. Atas dasar semua pemikiran itulah diharapkan kesenian Indonesia akan bangkit dan mengalami perkembangan yang paling maksimal, hingga mencapai taraf  yang paling gemilang kelak kemudian hari.

 

Sumber semedi:

Busye, Motinggo

  1. 2000. Fatima Chen-chen, Novel Islami. Asy Syamil. Bandung.

 

Fawdzy, Doddi Achmad

Selamat Datang Angkatan Melankolik. Harian Media Indonesia, 19 November, Jakarta.

 

Gola Gong  dan Helvi TR

  1. 2000. Nyanyian Perjalanan. Asy Syaamil. Bandung.

 

Maulana S, Ahmad

  1. Tinta Kepedihan; Ketika Cinta Tak Lagi Sekedar Peluk dan Cium. kOmA. Jakarta.

 

Helvy Tiana Rosa dkk

  1. 2000. Hingga Batu Bicara, Kumpulan Cerpen Palestina. Asy Syamil. Bandung.

 

Musttaqwiati

  1. 2000. Aida; Telaga yang Tak Pernah Kering. Asy Syamil. Bandung.

 

Muthmainah

  1. 2000. Pingkan; Sehangat Mentari Musim Semi. Asy Syaamil. Bandung.

 

Najib, Emha Ainun

Slilit Sang Kyai. Jakarta.

 

Rosa, Helvy Tiana

  1. 2000. Akira; Muslim Watashi Wa. Asy Syamil. Bandung.

 

 

Secangkir Kopi Catatan Akhir Orde Baru, Thorn Village-Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun