Bab 1: Saat Hatiku Tak Lagi Diam
Langit sore itu mendung, seolah tahu bahwa hatiku sedang tidak karuan. Di halaman sekolah yang sebentar lagi hanya akan menjadi kenangan, siswa-siswi berseragam putih abu-abu sibuk berfoto, tertawa, menangis, dan memeluk satu sama lain. Beberapa menulis pesan di seragam teman, yang lain berlari-lari kecil menyembunyikan tangis. Namun aku hanya berdiri diam di dekat pohon besar di sisi lapangan, memeluk lengan sendiri, mencoba menenangkan degup jantung yang tak berhenti berisik sejak pagi tadi. Hari ini adalah hari kelulusan.
Dan aku, Ning Yi si "gadis sempurna" menurut banyak orang akhirnya berani mengambil keputusan terbesar dalam hidupku: menyatakan perasaan kepada Ye Tian.
"Yi Yi! Kamu enggak ikut foto bareng kelas?" tanya Chen Wei, sahabat perempuanku sejak SMP, yang kini datang menghampiri dengan napas sedikit terengah karena berlari.
Aku menggeleng pelan sambil tersenyum. "Kamu duluan aja, aku nyusul." Chen Wei mendecak pelan. "Jangan bilang kamu lagi mikirin Ye Tian..." Aku hanya tersenyum, tak membalas. Senyumanku pasti bodoh, karena Chen Wei mendesah panjang sebelum berbalik dan berlari lagi menuju kerumunan teman sekelas.
Ye Tian.
Nama itu terasa seperti mantra bagiku. Aku masih ingat pertama kali aku memperhatikannya, saat ujian semester pertama di kelas 10. Ia satu-satunya siswa yang nyaris mengalahkanku dalam nilai total. Dan sejak itu... dia selalu ada di urutan dua. Tak pernah melewatkanku, tapi juga tak pernah menyerah. Diam-diam, aku menyukainya. Bukan hanya karena otaknya yang luar biasa, tapi juga karena ketenangannya. Ia tidak pernah terlihat tergesa, tidak pernah peduli dengan status sosial, dan tidak pernah berusaha mendekatiku seperti para pria lain. Itu... membuatku penasaran. Membuatku ingin tahu lebih. Tiga tahun telah berlalu, dan perasaan ini tumbuh bukan, mengakar. Tapi aku terlalu pengecut untuk mengatakannya.
Sampai hari ini.
Dengan selembar surat di tangan, aku menunggu Ye Tian yang katanya baru saja menyelesaikan foto bersama klub ilmiah. Jantungku berdetak makin kencang saat aku melihatnya berjalan keluar dari lorong belakang, sendirian. Mata jernih itu menyapu halaman, dan aku tahu dia sedang mencari seseorangsemoga aku. Aku melangkah pelan, nyaris memanggil namanya.
Tapi kemudian...
Aku melihat seorang gadis datang dari arah belakang, berlari, lalu memeluk Ye Tian dari belakang. Aku terpaku. Ye Tian sedikit kaget, tapi lalu tertawa kecil dan menepuk kepala gadis itu dengan lembut. Mereka bicara, aku tak bisa dengar apa tapi ekspresi mereka... begitu akrab. Begitu hangat. Dan saat gadis itu merapatkan pelukannya, mataku seperti disiram air mendidih. Kenapa sakit sekali...?