Mutadi memiliki prinsip pembangunan yang khas: "thobaq anthobaq"---berjalan setapak demi setapak, berhenti sejenak untuk menilai, lalu melangkah lagi dengan mantap. Ia tahu bahwa membangun universitas bukan perlombaan cepat, melainkan proses panjang yang menuntut konsistensi dan kesabaran.
Pendekatan itu membuahkan hasil. Sumber daya manusia mulai terbentuk, loyalitas tumbuh, dan rasa memiliki terhadap kampus semakin kuat. Dalam pengembangan sarana dan prasarana, ia tidak hanya mengandalkan dana dari mahasiswa, tetapi juga menggerakkan jaringan kedermawanan. Dukungan datang dari alumni, tokoh masyarakat, hingga donatur yang percaya pada integritasnya.
Di sisi lain, Mutadi juga memastikan bahwa kesejahteraan dosen dan staf tidak diabaikan. Ia memperkenalkan sistem gaji bulanan dan remunerasi sebagai bentuk penghargaan terhadap kerja keras sivitas akademika. Langkah itu sederhana, tetapi membangkitkan semangat baru di lingkungan kampus.
Kini, setiap kali kita melintasi Jalan Sutorejo No. 59, berdiri megah kampus Universitas Muhammadiyah Surabaya---hasil dari ketekunan, pengorbanan, dan visi jauh ke depan seorang dokter yang memilih jalan pengabdian.
dr. Mutadi bukan hanya rektor yang memindahkan kampus dari satu lokasi ke lokasi lain, melainkan arsitek spiritual dari semangat keilmuan dan kebersamaan di UM Surabaya. Ia menanamkan nilai bahwa universitas bukan sekadar tempat belajar, tetapi rumah bagi perjuangan, pengabdian, dan cinta terhadap umat.
Warisan itu kini terus hidup, menjadi napas bagi generasi baru di bawah panji Muhammadiyah.
***
Ruang tunggu direktur Akademi Keperawatan (Akper) Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) pagi itu begitu hening. Kursi-kursi empuk berwarna biru laut tertata rapi, seolah menunggu tamu penting yang akan datang.
Dinding ruangan dihiasi lukisan-lukisan pemandangan alam yang menenangkan, sementara cahaya matahari menyelinap lembut melalui jendela besar dan memantul di lantai marmer yang mengilap.
Suasana tenang itu menyimpan banyak cerita. Salah satunya tentang pertemuan bersejarah antara dr. H. Mutadi, rektor sekaligus direktur Akper UM Surabaya kala itu, dengan dua dosen muda, Dr. Mundakir (kini rektor UM Surabaya).