Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenang dr. Mutadi, Arsitek Spiritual dan Penggerak Pendidikan Muhammadyah

10 Oktober 2025   20:03 Diperbarui: 10 Oktober 2025   20:03 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mutadi semenyampaikan sambutan saat wisuda  Universitas Muhammadiyah Surabaya tahun 1989. Foto: um surabaya

Muhammadiyah Jawa Timur berduka. dr. H. Mutadi, mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), berpulang ke rahmatullah, Rabu (8/10/2025) pukul 23.17 WIB. Kabar duka ini meninggalkan kesedihan mendalam di kalangan keluarga besar Muhammadiyah, khususnya civitas akademika UM Surabaya yang pernah merasakan kepemimpinan dan keteladanan beliau.

Sosok sederhana dan bersahaja ini merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah perkembangan UM Surabaya serta penggerak pendidikan Muhammadiyah di Jawa Timur. Almarhum dimakamkan di dekat kediamannya di Jalan Karangan PDAM No. 11 Karangan Babatan Wiyung, Surabaya, bakda salat zuhur.

Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur, Prof. Dr. dr. Sukadiono, MM, yang juga mantan Rektor UM Surabaya ini, menyampaikan duka cita mendalam atas wafatnya dr. Muhtadi. Dia mengaku mengenal Mutadi adalah sosok yang sangat berjasa terhadap perkembangan pendidikan Muhammadiyah.

Bagi Sukadiono, kepergian dr. Muhtadi bukan hanya kehilangan bagi keluarga besar UM Surabaya, tetapi juga bagi seluruh warga Muhammadiyah Jawa Timur. "Dia dikenal bukan hanya sebagai pemimpin, tetapi juga sebagai pembimbing yang menanamkan semangat perjuangan dan keikhlasan dalam bekerja," katanya.

Selama masa kepemimpinannya sebagai Rektor kedua UM Surabaya, dari tahun 1987 hingga 1997, dr. Muhtadi dikenal sebagai figur yang bekerja dengan visi jauh ke depan.

Dia melanjutkan tongkat estafet dari rektor pertama, dr. Suherman (1984--1987), dan berhasil mempersatukan berbagai fakultas serta akademi menjadi satu universitas yang kokoh. Langkah besar itu dijalankan dengan penuh kesabaran, ketekunan, dan kemampuan membangun harmoni di tengah perbedaan.

Menurut Sukadiono, warisan terbesar Muhtadi bukan hanya bangunan fisik kampus, melainkan nilai-nilai keikhlasan, kebersamaan, dan cinta terhadap perjuangan pendidikan Islam.

Anggota DPRD Jawa Timur, Dr. Suli Da'im, mengenang sosok dr. H. Muhtadi sebagai figur pemimpin kampus yang sederhana dan sabar. Saat masih menjadi mahasiswa UM Surabaya, Suli aktif di berbagai kegiatan kemahasiswaan. Mulai dari Senat Mahasiswa Fakultas, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), hingga Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi.

Aktivitas itu membuatnya cukup sering berinteraksi langsung dengan Muhtadi yang kala itu menjabat sebagai rektor. Menurut Suli, penampilan Muhtadi yang sederhana dan sikapnya yang sabar membuat para mahasiswa merasa dekat. "Setiap kali mahasiswa mengajukan proposal kegiatan, dia selalu menerima dengan hati terbuka," ungkapnya.

Muhtadi sering memberi pesan agar mahasiswa selalu berikhtiar dalam setiap langkahnya. "Beliau sering bilang, setiap usaha dan kegiatan yang kita lakukan harus diniatkan sebagai ibadah. Itulah yang membuat kami selalu termotivasi," tutur Suli.

Wakil Ketua PWM Jawa Timur, Dr. M. Sholihin Fanani, juga mengenang dr. Muhtadi sebagai sosok pekerja keras dengan pemikiran yang sangat visioner.  "Beliau bukan hanya seorang akademisi dan organisator, tetapi juga perencana masa depan yang mampu melihat jauh ke depan," katanya.

Menurut Sholihin, ketenangan Muhtadi bukanlah tanda pasif, melainkan refleksi dari kedewasaan dan kedalaman berpikir. Dia dikenal suka menolong siapa saja tanpa pandang bulu. Baik mahasiswa, dosen, maupun masyarakat umum," cetusnya.

Sikap rendah hati, imbuh Sholihin, menjadi ciri khas Muhtadi. Meski menjabat posisi penting, dia tak pernah menciptakan jarak dengan siapa pun. Dia berbicara lembut namun tegas dalam prinsip.

Ketegasannya bukan untuk menakut-nakuti, melainkan menjaga arah perjuangan agar tetap lurus sesuai nilai-nilai Muhammadiyah. "Beliau tidak pernah pilih-pilih orang. Semua dilayani dengan hormat dan penuh kasih," kenang Sholihin.

***

Mutasi menerima sumbangan buku dari perwakilan wisudawan pada momen wisufda tahun 1990. Foto: um surabaya
Mutasi menerima sumbangan buku dari perwakilan wisudawan pada momen wisufda tahun 1990. Foto: um surabaya

Nama dr. Muhtadi muncul sebagai sosok yang berperan besar dalam menyatukan, menata, dan membangun Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) hingga menjadi seperti sekarang. Sederhana, tenang, tapi teguh dalam prinsip. Begitulah itulah kesan yang melekat pada dirinya. 

Dalam masa kepemimpinannya sebagai Rektor kedua UM Surabaya, Mutadi dikenal bukan hanya sebagai seorang dokter yang mumpuni, tetapi juga sebagai organisator, pendidik, dan pemimpin yang sabar. Di bawah kepemimpinannya, universitas yang dulu tersebar di berbagai lokasi itu akhirnya menyatu dalam satu kampus terpadu di Jalan Sutorejo No. 59, Surabaya---sebuah tonggak penting dalam perjalanan panjang UM Surabaya.

Kisah Mutadi tak bisa dilepaskan dari sosok dr. H. Moh. Suherman, Rektor pertama UM Surabaya. Keduanya bertemu di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair). Suherman adalah seniornya, namun hubungan mereka melampaui sekadar kakak-adik kelas.

Mereka sering berdiskusi, berdebat, dan bersama-sama aktif di organisasi kemahasiswaan, hingga akhirnya terjun ke Persyarikatan Muhammadiyah.

Setelah lulus, kedua dokter muda ini tetap berjalan beriringan. Suherman dengan semangat dakwah dan pendidikannya, sementara Mutadi dengan pengabdiannya di dunia kesehatan.

Persahabatan mereka seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan---saling melengkapi dalam perjuangan membangun amal usaha Muhammadiyah di bidang pendidikan tinggi.

Seperti ditulis dalam buku Jejak Langkah Perjalanan UM Surabaya dari Masa ke Masa (2020), Ketika wacana penyatuan berbagai perguruan tinggi Muhammadiyah di Surabaya mulai bergulir, keduanya termasuk di barisan depan. Ada Fakultas Ilmu Agama Jurusan Dakwah (FIAD) yang berdiri sejak 1964, Fakultas Tarbiyah Surabaya (1975), IKIP Muhammadiyah Surabaya (1980), Fakultas Syariah Surabaya (1982), hingga Institut Teknologi Muhammadiyah Surabaya (1983). Semua lembaga itu kemudian berproses hingga lahirlah Universitas Muhammadiyah Surabaya pada tahun 1984---buah dari kerja keras, silaturahmi, dan tekad para perintisnya.

Sebagai dokter yang bekerja di Rumah Sakit Angkatan Laut (RSAL) Surabaya, Mutadi memiliki karier yang stabil. Namun, semangatnya untuk berkhidmat di Muhammadiyah begitu besar. Dia mulai aktif di ranting Dinoyo, menghadiri pengajian, dan ikut menggerakkan kegiatan sosial.

Ketika keinginannya untuk bertugas di amal usaha kesehatan Muhammadiyah mendapat persetujuan dari Departemen Kesehatan, ada syarat berat yang harus diterima: negara tidak lagi menanggung gajinya. Artinya, ia harus hidup dari honor Muhammadiyah yang saat itu tentu tidak seberapa.

Lebih dari itu, rezim Orde Baru saat itu melarang PNS aktif di organisasi masyarakat, termasuk organisasi keagamaan. Mutadi dihadapkan pada pilihan sulit: tetap sebagai PNS dengan jaminan karier atau total mengabdi di Muhammadiyah dengan segala risikonya.

Keputusan itu bukan sekadar keberanian, tapi juga bentuk cinta dan keyakinan terhadap perjuangan Muhammadiyah. Ia melepas atribut negara demi sepenuhnya menjadi pelayan umat.

Awalnya, kegiatan akademik UM Surabaya tersebar di beberapa lokasi. Perkuliahan dilakukan di berbagai tempat, termasuk Unair dan Poltekkes. Namun, tekad Mutadi untuk menyatukan semua aktivitas ke satu kampus terpadu tak pernah surut.

Sekitar tahun 1995--1996, seluruh fakultas resmi pindah ke kampus baru di Jalan Sutorejo. Saat itu, kondisi masih jauh dari ideal. Akses transportasi sulit; dari kawasan Pucang ke Sutorejo harus naik angkot dua kali dan berjalan kaki cukup jauh.

Namun, keterbatasan itu justru melahirkan semangat luar biasa. Dosen, tenaga kependidikan, hingga mahasiswa bahu-membahu membangun kampus baru. Gotong royong dan rasa memiliki (sense of belonging) menjadi energi yang menyatukan semuanya. Gedung demi gedung berdiri, sarana dan prasarana ditata, hingga wajah kampus berubah menjadi lebih representatif. Mahasiswa pun berdatangan dari berbagai daerah---dari Jawa, Madura, hingga luar pulau.

Dalam kepemimpinannya, Mutadi percaya bahwa kekuatan sebuah institusi bukan hanya pada bangunan fisiknya, tapi juga pada kekuatan hubungan antar manusianya. Ia menggagas kegiatan sederhana tapi bermakna: "arisan sivitas akademika."

Arisan ini bukan tentang uang, melainkan tentang silaturahmi dan kebersamaan. Setiap pertemuan menjadi ruang untuk berbagi kabar, bertukar ide, dan memperkuat ikatan emosional antar dosen dan staf. Dari forum-forum kecil semacam itulah muncul gagasan besar tentang strategi pembangunan kampus, perekrutan dosen berkualitas, dan peningkatan kesejahteraan tenaga kependidikan.

Mutadi memiliki prinsip pembangunan yang khas: "thobaq anthobaq"---berjalan setapak demi setapak, berhenti sejenak untuk menilai, lalu melangkah lagi dengan mantap. Ia tahu bahwa membangun universitas bukan perlombaan cepat, melainkan proses panjang yang menuntut konsistensi dan kesabaran.

Pendekatan itu membuahkan hasil. Sumber daya manusia mulai terbentuk, loyalitas tumbuh, dan rasa memiliki terhadap kampus semakin kuat. Dalam pengembangan sarana dan prasarana, ia tidak hanya mengandalkan dana dari mahasiswa, tetapi juga menggerakkan jaringan kedermawanan. Dukungan datang dari alumni, tokoh masyarakat, hingga donatur yang percaya pada integritasnya.

Di sisi lain, Mutadi juga memastikan bahwa kesejahteraan dosen dan staf tidak diabaikan. Ia memperkenalkan sistem gaji bulanan dan remunerasi sebagai bentuk penghargaan terhadap kerja keras sivitas akademika. Langkah itu sederhana, tetapi membangkitkan semangat baru di lingkungan kampus.

Kini, setiap kali kita melintasi Jalan Sutorejo No. 59, berdiri megah kampus Universitas Muhammadiyah Surabaya---hasil dari ketekunan, pengorbanan, dan visi jauh ke depan seorang dokter yang memilih jalan pengabdian.

dr. Mutadi bukan hanya rektor yang memindahkan kampus dari satu lokasi ke lokasi lain, melainkan arsitek spiritual dari semangat keilmuan dan kebersamaan di UM Surabaya. Ia menanamkan nilai bahwa universitas bukan sekadar tempat belajar, tetapi rumah bagi perjuangan, pengabdian, dan cinta terhadap umat.

Warisan itu kini terus hidup, menjadi napas bagi generasi baru di bawah panji Muhammadiyah.

***

Mutadi bersama KH. Abdurrahim Nur, M.A (Ketua PWM Jatim) dan Prof. Harsono (koordinator Kopertis Wilayah VII Jatim) tahn 1992. Foto: um surabaya  
Mutadi bersama KH. Abdurrahim Nur, M.A (Ketua PWM Jatim) dan Prof. Harsono (koordinator Kopertis Wilayah VII Jatim) tahn 1992. Foto: um surabaya  

Ruang tunggu direktur Akademi Keperawatan (Akper) Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) pagi itu begitu hening. Kursi-kursi empuk berwarna biru laut tertata rapi, seolah menunggu tamu penting yang akan datang.

Dinding ruangan dihiasi lukisan-lukisan pemandangan alam yang menenangkan, sementara cahaya matahari menyelinap lembut melalui jendela besar dan memantul di lantai marmer yang mengilap.

Suasana tenang itu menyimpan banyak cerita. Salah satunya tentang pertemuan bersejarah antara dr. H. Mutadi, rektor sekaligus direktur Akper UM Surabaya kala itu, dengan dua dosen muda, Dr. Mundakir (kini rektor UM Surabaya).

Hari itu,  Mundakir datang untuk memenuhi panggilan sang rektor. Saat itu, dirinya baru saja pindah ke kampus baru di Jalan Sutorejo 59, setelah sebelumnya beraktivitas di kompleks SMA Muhammadiyah 2 Surabaya di Jalan Pucang Adi. Mundakir masih menjadi dosen keperawatan muda yang bersemangat membangun suasana akademik di lingkungan baru.

"Waktu itu kami baru saja menata perkuliahan di kampus baru Sutorejo," kenang Mundakir. "Tiba-tiba Pak Mutadi datang dan mengundang saya ke ruangannya. Saya tidak tahu apa yang akan dibicarakan, tapi nada beliau terdengar penting," imbuhnya.

Mundakir lantas Azis Alimul Hidayar (kini Rektor Universitas Muhammadiyah Lamongan). Mereka segera memenuhi panggilan Mutadi. Waktu itu, ingat Mundakir, Mutadi berdiri dari kursinya, menjabat tangan keduanya, lalu mempersilakan duduk. Di depan meja besar tampak tumpukan dokumen yang rapi.

Setelah berbincang ringan, barulah Mutadi mengungkapkan maksud pertemuan itu. Dia berkata, menjalankan amanah sebagai bukan hal yang mudah. "Tanggung jawabnya besar. Saya butuh orang yang bisa membantu agar lembaga ini tetap berjalan baik," ujar Mundakir menirukan ucapan Mutadi.

Mutadi lalu meminta Mundakir dan Azis mencarikan figur pengganti direktur Akper. "Cari orang yang paham dunia kesehatan, tapi juga punya semangat dan loyalitas untuk Muhammadiyah," pesan Mutadi singkat.

Tugas itu diterima keduanya. Mereka pun mulai mencari sosok yang sesuai dengan amanah tersebut. Suatu hari, mereka bertemu Dr. Mustaqim Fadhil (kini almarhum), yang saat itu menjabat Sekretaris PWM Jatim sekaligus Sekretaris Program Pascasarjana UM Surabaya.

Dalam pertemuan hangat itu, Mustaqim menyebut beberapa nama potensial. "Ada dr. Esty Martina Rachmi dan dr. Rini Krinawati," katanya saat itu. Namun keduanya menolak karena telah memegang jabatan penting di lembaga lain.

Setelah berpikir sejenak, Mustaqim kemudian menyebut satu nama lain. "Coba hubungi dr. Sukadiono," ujarnya. "Masih muda, tapi energinya besar. Dia aktif mengelola beberapa klinik di Surabaya," timpalnya.

Mundakir lalu menghubungi nomor telepon Sukadiono yang diberikan Mustaqim. Singkat cerita, Mundakir dan Azis janjian bertemu dengan Sukadiono di klinik yang terletak di kompleks Masjid Jenderal Sudirman, Surabaya.

Dalam pertemuan tersebut, Mundakir menyampaikan amanah yang diberikan dr. Mutadi. "Semoga Bapak bersedia menerima amanah sebagai Direktur Akper UM Surabaya," tutur Mundakir.

Mendengar itu, Sukadiono tampak terkejut. "Saya? Direktur Akper?" ucapnya sambil tersenyum heran. Namun setelah penjelasan panjang tentang kondisi akademi dan tantangan ke depan, ekspresinya berubah lebih serius. "Insyaallah, saya siap," katanya mantap sambil menjabat tangan Mundakir erat-erat.

Beberapa hari kemudian, Mundakir melaporkan hasil pertemuan tersebut kepada Mutadi. Saat mendengar nama dr. Sukadiono, sang rektor sempat mengernyitkan dahi. "Pak Suko? Dokter klinik itu?" tanyanya, berusaha mengingat.

Mundakir menjelaskan bahwa rekomendasi datang dari Mustaqim Fadhil. Setelah mendengar itu, Mutadi mengangguk pelan. "Kalau begitu, insya Allah bagus," katanya pendek.

Tak lama kemudian, Sukadiono datang ke kampus Sutorejo. Dia mengendarai motor Suzuki CDI, berpakaian rapi, dan membawa map berisi surat lamaran. Ia disambut hangat oleh staf dan diarahkan ke ruang rapat, tempat Mundakir menunggunya.

Dalam pertemuan itu, keduanya berbincang banyak tentang kondisi Akper. Mundakir menjelaskan capaian yang sudah diraih, mulai dari akreditasi program studi yang baik hingga kerja sama dengan sejumlah rumah sakit besar.

Namun, ia juga jujur menyampaikan tantangan yang masih dihadapi. "Kami butuh laboratorium yang lebih lengkap dan kurikulum yang lebih kuat agar mahasiswa kami siap menghadapi dunia kerja," ujarnya kepada Sukadiono.

Sukadiono mendengarkan dengan saksama. "Mahasiswa tidak hanya harus cakap secara klinis," katanya kemudian, "tetapi juga harus punya empati dan jiwa kepemimpinan." Kalimat itu, kata Mundakir, seolah menegaskan arah baru bagi Akper Muhammadiyah Surabaya.

Beberapa waktu kemudian, lamaran dr. Sukadiono resmi diterima. Dari sinilah perjalanan panjang itu dimulai. Menurut Mundakir, proses penetapannya tidak memakan waktu lama.

Kini, ketika kabar duka tentang wafatnya dr. Mutadi menyelimuti civitas akademika, kenangan itu kembali hadir dengan jelas di benak Mundakir.

"Beliau bukan hanya rektor," katanya pelan, "tapi guru kehidupan. Dari beliau kami belajar tentang keikhlasan, kebijaksanaan, dan kepemimpinan yang memanusiakan." (agus wahyudi)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun