Beberapa hari kemudian, Mundakir melaporkan hasil pertemuan tersebut kepada Mutadi. Saat mendengar nama dr. Sukadiono, sang rektor sempat mengernyitkan dahi. "Pak Suko? Dokter klinik itu?" tanyanya, berusaha mengingat.
Mundakir menjelaskan bahwa rekomendasi datang dari Mustaqim Fadhil. Setelah mendengar itu, Mutadi mengangguk pelan. "Kalau begitu, insya Allah bagus," katanya pendek.
Tak lama kemudian, Sukadiono datang ke kampus Sutorejo. Dia mengendarai motor Suzuki CDI, berpakaian rapi, dan membawa map berisi surat lamaran. Ia disambut hangat oleh staf dan diarahkan ke ruang rapat, tempat Mundakir menunggunya.
Dalam pertemuan itu, keduanya berbincang banyak tentang kondisi Akper. Mundakir menjelaskan capaian yang sudah diraih, mulai dari akreditasi program studi yang baik hingga kerja sama dengan sejumlah rumah sakit besar.
Namun, ia juga jujur menyampaikan tantangan yang masih dihadapi. "Kami butuh laboratorium yang lebih lengkap dan kurikulum yang lebih kuat agar mahasiswa kami siap menghadapi dunia kerja," ujarnya kepada Sukadiono.
Sukadiono mendengarkan dengan saksama. "Mahasiswa tidak hanya harus cakap secara klinis," katanya kemudian, "tetapi juga harus punya empati dan jiwa kepemimpinan." Kalimat itu, kata Mundakir, seolah menegaskan arah baru bagi Akper Muhammadiyah Surabaya.
Beberapa waktu kemudian, lamaran dr. Sukadiono resmi diterima. Dari sinilah perjalanan panjang itu dimulai. Menurut Mundakir, proses penetapannya tidak memakan waktu lama.
Kini, ketika kabar duka tentang wafatnya dr. Mutadi menyelimuti civitas akademika, kenangan itu kembali hadir dengan jelas di benak Mundakir.
"Beliau bukan hanya rektor," katanya pelan, "tapi guru kehidupan. Dari beliau kami belajar tentang keikhlasan, kebijaksanaan, dan kepemimpinan yang memanusiakan." (agus wahyudi)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI