Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenang dr. Mutadi, Arsitek Spiritual dan Penggerak Pendidikan Muhammadyah

10 Oktober 2025   20:03 Diperbarui: 10 Oktober 2025   20:03 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mutadi bersama KH. Abdurrahim Nur, M.A (Ketua PWM Jatim) dan Prof. Harsono (koordinator Kopertis Wilayah VII Jatim) tahn 1992. Foto: um surabaya  

Beberapa hari kemudian, Mundakir melaporkan hasil pertemuan tersebut kepada Mutadi. Saat mendengar nama dr. Sukadiono, sang rektor sempat mengernyitkan dahi. "Pak Suko? Dokter klinik itu?" tanyanya, berusaha mengingat.

Mundakir menjelaskan bahwa rekomendasi datang dari Mustaqim Fadhil. Setelah mendengar itu, Mutadi mengangguk pelan. "Kalau begitu, insya Allah bagus," katanya pendek.

Tak lama kemudian, Sukadiono datang ke kampus Sutorejo. Dia mengendarai motor Suzuki CDI, berpakaian rapi, dan membawa map berisi surat lamaran. Ia disambut hangat oleh staf dan diarahkan ke ruang rapat, tempat Mundakir menunggunya.

Dalam pertemuan itu, keduanya berbincang banyak tentang kondisi Akper. Mundakir menjelaskan capaian yang sudah diraih, mulai dari akreditasi program studi yang baik hingga kerja sama dengan sejumlah rumah sakit besar.

Namun, ia juga jujur menyampaikan tantangan yang masih dihadapi. "Kami butuh laboratorium yang lebih lengkap dan kurikulum yang lebih kuat agar mahasiswa kami siap menghadapi dunia kerja," ujarnya kepada Sukadiono.

Sukadiono mendengarkan dengan saksama. "Mahasiswa tidak hanya harus cakap secara klinis," katanya kemudian, "tetapi juga harus punya empati dan jiwa kepemimpinan." Kalimat itu, kata Mundakir, seolah menegaskan arah baru bagi Akper Muhammadiyah Surabaya.

Beberapa waktu kemudian, lamaran dr. Sukadiono resmi diterima. Dari sinilah perjalanan panjang itu dimulai. Menurut Mundakir, proses penetapannya tidak memakan waktu lama.

Kini, ketika kabar duka tentang wafatnya dr. Mutadi menyelimuti civitas akademika, kenangan itu kembali hadir dengan jelas di benak Mundakir.

"Beliau bukan hanya rektor," katanya pelan, "tapi guru kehidupan. Dari beliau kami belajar tentang keikhlasan, kebijaksanaan, dan kepemimpinan yang memanusiakan." (agus wahyudi)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun