Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

[Novel] Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar, Episode 87-88

15 Oktober 2025   04:15 Diperbarui: 14 Oktober 2025   18:22 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Novel Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar (Dokumentasi Pribadi)

Malam Panjang yang Tak Tertidur

Hujan belum turun, tapi langit telah menggulungkan guntur dari balik awan. Di pucuk daun pandan yang mengitari sarang, embun menggigil sebelum jatuh. Udara malam mulai berat, seperti menahan isak yang tak sempat terucap. Dan di tengah semesta yang menanti reda atau bencana, ratusan tubuh kecil bergerak, pelan, pasti, dalam senyap.

Malam itu, Rawa Biru tak berbicara, tapi menyaksikan. Cahaya hanya datang dari pantulan embun di permukaan daun-daun lebar, dari kilat yang sesekali menyambar dan memamerkan wajah langit yang remuk oleh waktu. Namun di antara kegelapan dan kilat, rumah itu, bangunan megah yang belum selesai, masih menyimpan detak. Detak kerja. Detak semangat.

Musamus berdiri di tengah-tengah sarang yang mulai menjulang kembali. Tubuhnya basah oleh keringat dan kabut, tapi matanya menyala seperti bara yang menolak padam. Di sekelilingnya, teman-teman bekerja dalam diam. Tak ada yang bicara, tapi semuanya saling tahu. Tahu bahwa malam ini bukan malam biasa. Ini adalah malam ujian: untuk kesetiaan, untuk keberanian, untuk jiwa.

"Angin akan makin kencang," bisik Luma sambil menyeret sebatang ranting yang lebih besar dari tubuhnya. "Tapi aku tak mau berhenti."

Musamus menoleh. "Kita tak akan berhenti. Kita hanya akan beristirahat ketika rumah ini selesai berdiri."

"Kalau begitu, izinkan aku menguatkan dinding utara," ujar Ranggai yang datang dari balik semak, membawa lumpur yang sudah bercampur air liur dan debu rumput. "Dinding itu tadi sempat retak sedikit setelah kilat terakhir menyambar."

Musamus mengangguk. "Jangan sendirian. Ajak Sira dan Kenu. Kita tetap bekerja bersama. Kita tetap... gotong royong."

Sira yang mendengar namanya langsung menyahut, "Tentu, Musamus! Aku sudah menyiapkan campuran baru, lebih padat. Ini akan membuat dinding itu bertahan lebih lama."

Kenu menambahkan dengan suara sedikit parau, "Tanganku gemetar, tapi hati ini masih teguh."

"Biarkan tangan kita gemetar," sahut Musamus lirih, "karena keteguhan bukan ada di otot, tapi di dada."

Lalu mereka bergerak. Luma, dengan langkah kecilnya, menaiki batang sempit yang mengarah ke bagian atas sarang. Ia menyelipkan ranting-ranting kecil di antara celah lumpur yang mengering, sementara air liur yang kental ia poleskan perlahan, seolah sedang merawat luka. Di sisi lain, Ranggai dan Sira menyusun campuran baru, lebih kuat, sambil saling menopang bila kaki mulai goyah.

Kilat menyambar lagi, memperlihatkan wajah-wajah lelah yang tak menyerah. Setiap kali cahaya datang dari langit, semesta seperti ikut memberi restu. Daun-daun berkilau, embun memantul, dan dinding sarang bersinar sesaat, seperti permata dari lumpur dan cinta.

"Apa kau takut petir?" tanya Lere pada Umba yang duduk di sudut, memantau arah angin.

"Dulu, iya," jawab Umba pelan. "Tapi sekarang, aku lebih takut jika rumah ini tak selesai. Karena di sinilah warisan kita, Lere. Tempat di mana anak-anak kita akan tahu apa arti bekerja bersama."

Lere menunduk. Ia mengeratkan cengkeramannya pada potongan rumput yang hendak ia pasang sebagai atap.

"Maka mari kita selesaikan ini, bahkan jika malam tak memberi tidur," bisik Lere.

Mereka terus bekerja. Tiap gerakan membawa makna, tiap tetes keringat menjadi doa. Tak ada yang memerintah, tak ada yang diperintah. Yang ada hanya kesadaran bahwa tubuh mereka kecil, tapi yang mereka bangun adalah sesuatu yang lebih besar dari hidup mereka sendiri.

Musamus tak banyak bicara malam itu. Ia hanya hadir, mengamati, membantu, menguatkan. Kadang ia menyeka lumpur yang menetes di mata temannya. Kadang ia memeluk semut yang hampir tumbang karena kelelahan. Kadang ia hanya berdiri, menjadi penopang ketika tiang yang belum kering hampir roboh.

"Musamus," panggil Luma pelan ketika malam mulai menuju fajar, "Mengapa kau tidak pernah marah, meski dulu kami sempat meninggalkanmu?"

Musamus tersenyum. Senyum yang lahir bukan dari rasa menang, tapi dari ketulusan yang matang.

"Karena aku tahu," jawabnya, "tidak semua kaki bisa berjalan lurus sejak awal. Tapi mereka yang kembali, merekalah yang benar-benar paham jalan."

Luma menggigit bibir, menahan isak. Ia tahu, malam ini bukan hanya malam panjang. Ini adalah malam pengampunan. Malam ketika kesalahan tidak dihakimi, tapi dirangkul dan diberi tempat untuk memperbaiki.

Dan ketika embun terakhir jatuh dari ujung daun, ketika langit mulai berubah dari hitam menjadi abu-abu, dan ketika angin membawa wangi basah tanah yang baru diolah---mereka tahu: rumah itu telah kembali berdiri.

Belum selesai sepenuhnya, belum megah seperti dulu. Tapi sudah cukup kokoh untuk menyimpan harapan. Sudah cukup hangat untuk menjadi pelukan bagi yang sempat hilang arah. Sudah cukup tinggi untuk mengatakan kepada dunia:

"Tubuh kami kecil. Tapi kami tidak pernah sendiri. Karena kami bekerja dalam cinta."

Malam itu memang panjang. Tapi ia juga menjadi malam yang tak akan dilupakan, malam ketika gotong royong bukan hanya konsep, tapi napas. Malam ketika rumah bukan hanya tempat tinggal, tapi simbol jiwa yang tak tergantikan.

Matahari Menyentuh Puncak Rumah

Fajar tak datang tergesa. Ia menjalar pelan, menyusuri sela-sela dedaunan dan menyentuh permukaan sarang yang masih hangat oleh kerja keras semalam. Udara masih lembap. Daun-daun masih menggenggam embun seperti kenangan yang belum sempat dilepaskan. Di kejauhan, rawa menguapkan kabut putih yang menari pelan, seperti roh-roh leluhur yang sedang menyampaikan pujiannya.

Lalu matahari naik sedikit lebih tinggi.

Dan pada detik yang nyaris tanpa suara, ia menyentuh pucuk rumah itu, rumah semut yang menjulang dari bumi, dibangun oleh tangan-tangan kecil, dengan cinta yang lebih besar dari tubuh mereka sendiri.

Semuanya membisu.

Tak ada teriakan kemenangan, tak ada tabuhan keberhasilan. Yang ada hanya diam, diam yang menggigilkan, yang menyelubungi hati seperti doa yang tak pernah diucap lantang. Diam yang sakral.

Musamus berdiri tepat di depan sarang, matanya memandangi puncak rumah yang kini berselimut cahaya emas. Ia tidak tersenyum, tidak pula menitikkan air mata. Tapi di balik wajahnya yang tenang, ada getar yang tidak sanggup disembunyikan oleh siapa pun.

"Selesai...?" bisik Luma pelan, masih mengatur napas, tubuhnya penuh lumpur yang mulai mengering.

Musamus menjawab tanpa menoleh, "Belum sempurna. Tapi cukup untuk melindungi. Cukup untuk mengingatkan siapa kita."

Sira duduk perlahan di sebelahnya, sambil menggenggam tangan Kenu yang hampir tertidur di bahunya. "Aku tak menyangka... kita bisa berdiri sejauh ini."

Ranggai datang dari sisi belakang rumah, matanya merah karena begadang, tapi sinarnya jernih. Ia menatap pucuk rumah yang kini menyentuh langit.

"Lihat...," gumamnya pelan, "Puncaknya lebih tinggi dari yang pernah kita bangun dulu."

Lere yang masih memeluk potongan akar kecil yang dipakai sebagai fondasi, menambahkan dengan suara serak, "Tapi kali ini... bukan hanya tinggi. Rumah ini berdiri dari hati yang utuh. Dari luka yang dimaafkan."

Musamus menatap mereka semua satu per satu. Lelah tergurat jelas di wajah mereka, tapi juga ada sesuatu yang lain: semacam cahaya. Cahaya dari dalam.

"Rumah ini," kata Musamus akhirnya, suaranya pelan tapi penuh gema, "tak akan roboh oleh hujan, atau terbakar oleh api. Ia hanya bisa hancur oleh satu hal, lupa. Lupa siapa kita. Lupa mengapa kita membangun."

Umba yang duduk di sisi selatan sarang menunduk dalam, seolah kata-kata itu menyentuh sarangnya sendiri di dalam dada.

"Kita sempat lupa, Musamus," ujarnya lirih. "Tapi malam tadi... mengingatkan."

"Dan pagi ini," sambung Sira, "membuktikan."

Sesaat, hening kembali menyelimuti. Hanya suara daun-daun yang bergesekan, seperti tepuk tangan lembut dari alam. Seekor burung kecil hinggap di dahan dekat sarang. Ia tidak berkicau, hanya diam dan mengamati, seolah tahu bahwa ia sedang menyaksikan peristiwa sakral.

"Maukah kau ceritakan lagi, Musamus," tanya Luma dengan suara seperti desah angin, "Mengapa kita selalu membangun tanpa merusak?"

Musamus menatap langit sejenak, lalu menunduk, menatap tanah tempat mereka berpijak.

"Karena tanah ini bukan milik kita," katanya. "Ia milik anak-anak kita. Dan anak dari anak-anak itu. Jika kita merusaknya hari ini demi kenyamanan sebentar, maka kita tak layak disebut leluhur esok."

Ranggai mengangguk. "Itulah yang membuat rumah ini berbeda dari bangunan makhluk lain. Kita tak mengambil apa pun yang tidak bisa tumbuh kembali. Tak ada satu ranting pun yang kita cabut dari pohon yang masih hidup."

"Dan tidak ada satu tetes air pun," tambah Umba, "yang kita ambil tanpa restu tanah."

Musamus lalu melangkah maju, menyentuh dinding rumah yang masih lembap oleh air liur mereka sendiri. Ia menempelkan pipinya pada permukaannya, lalu berbisik, nyaris tak terdengar:

"Kau bukan hanya rumah. Kau adalah tubuh kita sendiri."

Lalu, satu per satu, mereka mengikuti. Menyentuh rumah itu. Ada yang menyentuh dengan tangan, ada yang menempelkan kepala, ada pula yang mencium tanah di sekitar fondasi. Tidak ada seremoni. Tidak ada upacara. Tapi pagi itu menjadi saksi lahirnya sesuatu yang jauh lebih besar daripada bangunan---lahirnya jiwa bersama.

Dan saat matahari benar-benar menggantung di langit, sinarnya jatuh sempurna ke pucuk rumah itu. Tidak ada yang bicara. Tidak ada yang bergerak. Mereka hanya menatapnya. Penuh haru. Penuh bangga. Penuh kesadaran bahwa meski tubuh mereka kecil, mereka telah melahirkan sesuatu yang agung.

"Aku akan mengajar anak-anakku tentang ini," kata Lere, memecah keheningan. "Bahwa rumah terbaik adalah yang dibangun bersama. Yang berdiri bukan karena kekuatan, tapi karena kasih."

"Kita semua akan mengajarkan itu," jawab Musamus. "Dan selama ingatan itu hidup, rumah ini tidak akan pernah roboh."

Pagi pun terus berjalan. Tapi waktu seperti melambat di sekitar rumah itu. Angin berjalan dengan pelan. Awan melintas tanpa terburu-buru. Bahkan rawa yang biasanya gaduh oleh suara burung dan katak, hari itu memilih diam.

Dan dalam diam itu, rumah itu bicara. Ia tidak berkata dengan suara, tapi dengan kehadirannya yang kokoh, lembut, dan penuh makna. Ia adalah bukti. Bahwa kerja keras tak selalu perlu sorak. Bahwa gotong royong bukan sekadar konsep, tapi nafas yang bisa menumbuhkan keajaiban.

Rumah itu berdiri. Tak sempurna, tapi tak bisa dijatuhkan oleh apapun, kecuali lupa.

Dan karena mereka telah mengingat, maka rumah itu akan berdiri... selamanya, dan selamanya.

Bersambung

Merauke, 15 Oktober 2025

Agustinus Gereda

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun