"Biarkan tangan kita gemetar," sahut Musamus lirih, "karena keteguhan bukan ada di otot, tapi di dada."
Lalu mereka bergerak. Luma, dengan langkah kecilnya, menaiki batang sempit yang mengarah ke bagian atas sarang. Ia menyelipkan ranting-ranting kecil di antara celah lumpur yang mengering, sementara air liur yang kental ia poleskan perlahan, seolah sedang merawat luka. Di sisi lain, Ranggai dan Sira menyusun campuran baru, lebih kuat, sambil saling menopang bila kaki mulai goyah.
Kilat menyambar lagi, memperlihatkan wajah-wajah lelah yang tak menyerah. Setiap kali cahaya datang dari langit, semesta seperti ikut memberi restu. Daun-daun berkilau, embun memantul, dan dinding sarang bersinar sesaat, seperti permata dari lumpur dan cinta.
"Apa kau takut petir?" tanya Lere pada Umba yang duduk di sudut, memantau arah angin.
"Dulu, iya," jawab Umba pelan. "Tapi sekarang, aku lebih takut jika rumah ini tak selesai. Karena di sinilah warisan kita, Lere. Tempat di mana anak-anak kita akan tahu apa arti bekerja bersama."
Lere menunduk. Ia mengeratkan cengkeramannya pada potongan rumput yang hendak ia pasang sebagai atap.
"Maka mari kita selesaikan ini, bahkan jika malam tak memberi tidur," bisik Lere.
Mereka terus bekerja. Tiap gerakan membawa makna, tiap tetes keringat menjadi doa. Tak ada yang memerintah, tak ada yang diperintah. Yang ada hanya kesadaran bahwa tubuh mereka kecil, tapi yang mereka bangun adalah sesuatu yang lebih besar dari hidup mereka sendiri.
Musamus tak banyak bicara malam itu. Ia hanya hadir, mengamati, membantu, menguatkan. Kadang ia menyeka lumpur yang menetes di mata temannya. Kadang ia memeluk semut yang hampir tumbang karena kelelahan. Kadang ia hanya berdiri, menjadi penopang ketika tiang yang belum kering hampir roboh.
"Musamus," panggil Luma pelan ketika malam mulai menuju fajar, "Mengapa kau tidak pernah marah, meski dulu kami sempat meninggalkanmu?"
Musamus tersenyum. Senyum yang lahir bukan dari rasa menang, tapi dari ketulusan yang matang.