Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

[Novel] Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar, Episode 87-88

15 Oktober 2025   04:15 Diperbarui: 14 Oktober 2025   18:22 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Novel Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar (Dokumentasi Pribadi)

"Kita sempat lupa, Musamus," ujarnya lirih. "Tapi malam tadi... mengingatkan."

"Dan pagi ini," sambung Sira, "membuktikan."

Sesaat, hening kembali menyelimuti. Hanya suara daun-daun yang bergesekan, seperti tepuk tangan lembut dari alam. Seekor burung kecil hinggap di dahan dekat sarang. Ia tidak berkicau, hanya diam dan mengamati, seolah tahu bahwa ia sedang menyaksikan peristiwa sakral.

"Maukah kau ceritakan lagi, Musamus," tanya Luma dengan suara seperti desah angin, "Mengapa kita selalu membangun tanpa merusak?"

Musamus menatap langit sejenak, lalu menunduk, menatap tanah tempat mereka berpijak.

"Karena tanah ini bukan milik kita," katanya. "Ia milik anak-anak kita. Dan anak dari anak-anak itu. Jika kita merusaknya hari ini demi kenyamanan sebentar, maka kita tak layak disebut leluhur esok."

Ranggai mengangguk. "Itulah yang membuat rumah ini berbeda dari bangunan makhluk lain. Kita tak mengambil apa pun yang tidak bisa tumbuh kembali. Tak ada satu ranting pun yang kita cabut dari pohon yang masih hidup."

"Dan tidak ada satu tetes air pun," tambah Umba, "yang kita ambil tanpa restu tanah."

Musamus lalu melangkah maju, menyentuh dinding rumah yang masih lembap oleh air liur mereka sendiri. Ia menempelkan pipinya pada permukaannya, lalu berbisik, nyaris tak terdengar:

"Kau bukan hanya rumah. Kau adalah tubuh kita sendiri."

Lalu, satu per satu, mereka mengikuti. Menyentuh rumah itu. Ada yang menyentuh dengan tangan, ada yang menempelkan kepala, ada pula yang mencium tanah di sekitar fondasi. Tidak ada seremoni. Tidak ada upacara. Tapi pagi itu menjadi saksi lahirnya sesuatu yang jauh lebih besar daripada bangunan---lahirnya jiwa bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun