Dan saat matahari benar-benar menggantung di langit, sinarnya jatuh sempurna ke pucuk rumah itu. Tidak ada yang bicara. Tidak ada yang bergerak. Mereka hanya menatapnya. Penuh haru. Penuh bangga. Penuh kesadaran bahwa meski tubuh mereka kecil, mereka telah melahirkan sesuatu yang agung.
"Aku akan mengajar anak-anakku tentang ini," kata Lere, memecah keheningan. "Bahwa rumah terbaik adalah yang dibangun bersama. Yang berdiri bukan karena kekuatan, tapi karena kasih."
"Kita semua akan mengajarkan itu," jawab Musamus. "Dan selama ingatan itu hidup, rumah ini tidak akan pernah roboh."
Pagi pun terus berjalan. Tapi waktu seperti melambat di sekitar rumah itu. Angin berjalan dengan pelan. Awan melintas tanpa terburu-buru. Bahkan rawa yang biasanya gaduh oleh suara burung dan katak, hari itu memilih diam.
Dan dalam diam itu, rumah itu bicara. Ia tidak berkata dengan suara, tapi dengan kehadirannya yang kokoh, lembut, dan penuh makna. Ia adalah bukti. Bahwa kerja keras tak selalu perlu sorak. Bahwa gotong royong bukan sekadar konsep, tapi nafas yang bisa menumbuhkan keajaiban.
Rumah itu berdiri. Tak sempurna, tapi tak bisa dijatuhkan oleh apapun, kecuali lupa.
Dan karena mereka telah mengingat, maka rumah itu akan berdiri... selamanya, dan selamanya.
Bersambung
Merauke, 15 Oktober 2025
Agustinus Gereda
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI