Tak ada teriakan kemenangan, tak ada tabuhan keberhasilan. Yang ada hanya diam, diam yang menggigilkan, yang menyelubungi hati seperti doa yang tak pernah diucap lantang. Diam yang sakral.
Musamus berdiri tepat di depan sarang, matanya memandangi puncak rumah yang kini berselimut cahaya emas. Ia tidak tersenyum, tidak pula menitikkan air mata. Tapi di balik wajahnya yang tenang, ada getar yang tidak sanggup disembunyikan oleh siapa pun.
"Selesai...?" bisik Luma pelan, masih mengatur napas, tubuhnya penuh lumpur yang mulai mengering.
Musamus menjawab tanpa menoleh, "Belum sempurna. Tapi cukup untuk melindungi. Cukup untuk mengingatkan siapa kita."
Sira duduk perlahan di sebelahnya, sambil menggenggam tangan Kenu yang hampir tertidur di bahunya. "Aku tak menyangka... kita bisa berdiri sejauh ini."
Ranggai datang dari sisi belakang rumah, matanya merah karena begadang, tapi sinarnya jernih. Ia menatap pucuk rumah yang kini menyentuh langit.
"Lihat...," gumamnya pelan, "Puncaknya lebih tinggi dari yang pernah kita bangun dulu."
Lere yang masih memeluk potongan akar kecil yang dipakai sebagai fondasi, menambahkan dengan suara serak, "Tapi kali ini... bukan hanya tinggi. Rumah ini berdiri dari hati yang utuh. Dari luka yang dimaafkan."
Musamus menatap mereka semua satu per satu. Lelah tergurat jelas di wajah mereka, tapi juga ada sesuatu yang lain: semacam cahaya. Cahaya dari dalam.
"Rumah ini," kata Musamus akhirnya, suaranya pelan tapi penuh gema, "tak akan roboh oleh hujan, atau terbakar oleh api. Ia hanya bisa hancur oleh satu hal, lupa. Lupa siapa kita. Lupa mengapa kita membangun."
Umba yang duduk di sisi selatan sarang menunduk dalam, seolah kata-kata itu menyentuh sarangnya sendiri di dalam dada.