Pagi menjelang di tengah bentang rawa yang dihiasi kabut tipis, seperti kelambu alam yang menyingkap pelan-pelan wajah Taman Wasur. Ranting-ranting kayu bus dan palem bergoyang halus oleh angin lembut yang membawa aroma lumpur, ketapang muda, dan bau tajam dari dedaunan basah. Cahaya matahari menyusup dari sela-sela daun bakau, menyentuh pucuk rumah besar Musamus yang menjulang gagah dari tanah, seperti mahkota di tengah padang ilalang.
Musamus berdiri di tepi rumahnya yang kini disebut warga sebagai Menara Harapan. Ia menatap langit yang perlahan berubah dari kelabu keemasaan. Di bawah sana, semut-semut pekerja terus lalu-lalang membawa butiran tanah, daun kering, dan tetesan embun yang mereka campur dengan liur, memperkokoh dinding-dinding ramping rumah mereka. Di dalam rumah, segala ruang telah terbagi: tempat berkumpul, ruang menyimpan biji-bijian, ruang bertelur, dan lorong-lorong udara yang menjaga suhu tetap nyaman.
"Kepala Musamus! Kepala Musamus!"
Suara kecil memanggil dari bawah. Seekor kepiting rawa dengan cangkang lumut hijau datang tergesa-gesa.
"Ada apa, Kepa?" tanya Musamus sambil menuruni dinding dengan cekatan.
"Mambruk... Mambruk baru saja datang dari arah danau! Mereka bilang koloni burung elang Irian di utara mulai kembali. Air juga mulai jernih, ikan-ikan kecil terlihat di pinggir rawa lagi."
Musamus mengangguk. Kabar ini seperti embun untuk jiwanya yang beberapa pekan terakhir terus digelisahkan oleh musim kering yang memanjang.
Tak lama kemudian, langit yang tadinya kosong mulai dihiasi suara-suara alam. Dari kejauhan, sekelompok belibis melintas di atas semak kayu bus, disusul camar angguk hitam yang turun meliuk-liuk, memantulkan kilau matahari di punggungnya.
Musamus berjalan ke tengah lapangan. Di sana, warga sudah berkumpul. Burung kakatua memekik riang dari dahan palem, sementara udang rawa melompat sesaat dari air, seperti menyapa pagi.