Udang kecil menimpali, "Kami anyam rumput bukan agar indah, tapi agar kuat menghadapi badai. Kami ikat lumpur dengan akar, agar tidak runtuh saat perahu-perahu melintas."
"Kami bekerja bukan untuk menjadi besar," lanjut Tera si semut muda. "Tapi agar kami bisa tinggal bersama tanpa saling menjatuhkan."
Cendrawasih menatap satu per satu wajah makhluk kecil yang penuh harapan dan peluh. Kemudian ia menggeleng pelan, lalu mengepak dan melayang ke udara. Semua makhluk menahan napas. Apakah ia akan menolak?
Namun dari langit, Cendrawasih memutar tubuhnya dan menjatuhkan satu helai bulu dari punggungnya. Bulu itu melayang, perlahan, seperti daun palem yang jatuh dari langit. Musamus menangkapnya dengan lembut.
"Gunakan bulu itu untuk membuat Tanduk Harapan," ujar Cendrawasih. "Letakkan di puncak rumah kalian. Bukan sebagai mahkota, tapi sebagai arah. Jangan biarkan ia menjadi sombong. Biarlah ia menjadi pengingat bahwa langit pun pernah menunduk pada tanah."
Semua makhluk bersorak. Seekor burung rawa menangis pelan. Seekor kepiting menari dengan capitnya. Udang menggeliat bahagia.
Musamus memanggil beberapa semut pembuat anyaman terbaik. "Buatkan tanduk dari kayu bus yang lentur, dan ikat bulu ini di ujungnya."
Para semut bekerja dengan presisi, dibantu tali dari serat palem, dan dalam waktu setengah hari, tanduk kecil berbentuk lengkung indah berdiri di puncak Menara Harapan. Ia tidak besar. Tidak berkilau. Tapi di bawah cahaya senja, bulu emasnya memantulkan nurani, bukan kebesaran.
Saat malam datang dan bintang menyala di atas rawa, tanduk itu menangkap cahaya bintang pertama. Menara Harapan kini bukan sekadar bangunan. Ia menjadi kompas. Ia menjadi pernyataan kecil bahwa pemimpin sejati tidak perlu megah. Cukup punya arah.
Tera duduk di samping Musamus, matanya menatap tanduk kecil itu.
"Apakah rumah ini akan selalu berdiri?"