Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

[Novel] Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar, Episode 59-60

12 September 2025   04:25 Diperbarui: 11 September 2025   19:06 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Udang kecil menimpali, "Kami anyam rumput bukan agar indah, tapi agar kuat menghadapi badai. Kami ikat lumpur dengan akar, agar tidak runtuh saat perahu-perahu melintas."

"Kami bekerja bukan untuk menjadi besar," lanjut Tera si semut muda. "Tapi agar kami bisa tinggal bersama tanpa saling menjatuhkan."

Cendrawasih menatap satu per satu wajah makhluk kecil yang penuh harapan dan peluh. Kemudian ia menggeleng pelan, lalu mengepak dan melayang ke udara. Semua makhluk menahan napas. Apakah ia akan menolak?

Namun dari langit, Cendrawasih memutar tubuhnya dan menjatuhkan satu helai bulu dari punggungnya. Bulu itu melayang, perlahan, seperti daun palem yang jatuh dari langit. Musamus menangkapnya dengan lembut.

"Gunakan bulu itu untuk membuat Tanduk Harapan," ujar Cendrawasih. "Letakkan di puncak rumah kalian. Bukan sebagai mahkota, tapi sebagai arah. Jangan biarkan ia menjadi sombong. Biarlah ia menjadi pengingat bahwa langit pun pernah menunduk pada tanah."

Semua makhluk bersorak. Seekor burung rawa menangis pelan. Seekor kepiting menari dengan capitnya. Udang menggeliat bahagia.

Musamus memanggil beberapa semut pembuat anyaman terbaik. "Buatkan tanduk dari kayu bus yang lentur, dan ikat bulu ini di ujungnya."

Para semut bekerja dengan presisi, dibantu tali dari serat palem, dan dalam waktu setengah hari, tanduk kecil berbentuk lengkung indah berdiri di puncak Menara Harapan. Ia tidak besar. Tidak berkilau. Tapi di bawah cahaya senja, bulu emasnya memantulkan nurani, bukan kebesaran.

Saat malam datang dan bintang menyala di atas rawa, tanduk itu menangkap cahaya bintang pertama. Menara Harapan kini bukan sekadar bangunan. Ia menjadi kompas. Ia menjadi pernyataan kecil bahwa pemimpin sejati tidak perlu megah. Cukup punya arah.

Tera duduk di samping Musamus, matanya menatap tanduk kecil itu.

"Apakah rumah ini akan selalu berdiri?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun