Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

[Novel] Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar, Episode 59-60

12 September 2025   04:25 Diperbarui: 11 September 2025   19:06 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fajar membuka kelopaknya perlahan di atas hamparan rawa Kampung Musamus. Kabut lembut menggantung rendah, menari-nari di atas permukaan air yang tenang. Di kejauhan, suara kepakan sayap memecah kesunyian. Bukan suara burung biasa. Ini adalah denting lembut yang hanya satu makhluk mampu hasilkan, Cendrawasih Emas, penari langit dari Tanah Marind.

Di atas pucuk pohon ketapang yang tinggi, ia hinggap dengan anggun. Bulu-bulunya memantulkan cahaya pagi seperti embun yang menari di matahari. Di kepalanya, melengkung dua helai tipis menyerupai tanduk, bukan tanduk keras seperti rusa, tapi sepasang antena keanggunan yang menangkap bisikan langit dan rahasia tanah.

Hari itu, Musamus memanggil para pemimpin kecil dari penjuru rawa untuk berkumpul di bawah Menara Harapan, rumah baru mereka yang kini berdiri di atas kayu bus, lumpur, dan doa bersama.

"Kita sudah membangun rumah," ujar Musamus dengan suara berat namun penuh kelembutan. "Tapi rumah tanpa arah, seperti air yang tak punya aliran. Kita perlu tanda. Kita perlu jiwa."

Seekor burung gagak rawa bertanya, "Apa maksudmu dengan jiwa, Kepala Musamus?"

"Jiwa adalah arah hati," jawab Musamus pelan. "Dan aku ingin memberikannya simbol. Sesuatu yang tumbuh dari langit, tapi juga paham luka tanah."

Saat itulah Cendrawasih turun perlahan, mengepakkan sayap keemasan di tengah lingkaran makhluk-makhluk rawa. Semua terdiam. Bahkan udara pun menahan napasnya.

"Panggilanmu sampai ke angin," ujar Cendrawasih, suaranya sehalus daun palem yang disentuh pagi. "Kau ingin simbol, tapi bukan sekadar lambang. Kau mencari jantung dari rumah ini."

Musamus menunduk hormat. "Tandukmu, wahai Cendrawasih, adalah tanda arah. Ia seperti lengkung sungai yang menolak garis lurus, tapi tetap sampai ke laut. Kami ingin menjadikan bentuk itu sebagai penunjuk, sebagai penuntun."

Cendrawasih memandang rumah yang telah berdiri. "Bolehkah aku tahu, apa yang membuatmu percaya bahwa tempat ini pantas menyandang tandukku?"

Seekor belut tua menyembul dari air dan berkata, "Karena kami tidak membangun untuk diri kami sendiri. Kami membangun untuk tanah ini, untuk air yang mengalir di bawah akar, dan untuk generasi yang belum lahir."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun