Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

[Novel] Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar, Episode 53-54

5 September 2025   04:25 Diperbarui: 4 September 2025   19:11 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Novel Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar (Dokumentasi Pribadi)

Gema dari Dalam Tanah  

Tanah basah rawa-rawa Marind menyimpan banyak hal yang tak tampak. Akar-akarnya tak hanya menembus lumpur, tapi juga menyimpan cerita yang tak pernah hilang ditelan waktu. Di sela-sela anyaman akar bakau dan ketapang, suara-suara yang tak terucap bergulir perlahan. Seolah bumi menyimpan gema dari mereka yang pernah mencintainya.

Pagi itu, koloni terdiam di sekitar sarang pusat. Angin hanya berani berbisik pelan, takut mengusik duka yang masih segar. Musamus, sang kepala kampung, telah tak mampu bicara. Ia terbaring dalam diam yang panjang, dikelilingi daun palem kering dan anyaman bambu yang dirangkai oleh semut-semut muda dengan penuh hormat.

Rawari berdiri di sisi tubuh Musamus. Ia belum mengucap sepatah kata pun sejak fajar. Tapi tangannya tak henti menyentuh tanah. Menyentuh kehidupan. Mendengarkan yang tak tampak.

"Kau percaya... tanah bisa bicara?" bisik Nyuwa, semut penggali liang yang tubuhnya penuh noda lumpur.

Rawari mengangguk pelan. "Tanah selalu bicara, Nyuwa. Kita yang sering terlalu sibuk untuk mendengarnya."

Mendadak tanah di bawah kaki mereka bergetar ringan. Bukan gempa, bukan ancaman. Tapi ritme. Seperti detak jantung. Seperti langkah yang datang dari kedalaman bumi.

"Rawari, kau merasakannya juga?" tanya Kepi, penjaga sarang.

"Iya. Ini... seperti getaran lama. Seperti Musamus yang sedang bicara lewat tanah."

Koloni terdiam. Bahkan suara udang rawa yang biasa mencipratkan air pun lenyap. Di sela akar kayu bus yang melintang di atas sarang, belut tua muncul ke permukaan, matanya menyipit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun