Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Esais; Industrial Profiling Writer; Planmaker

Menulislah jika harus menulis, karena kita semua manusia..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menapaki Jejak Kontribusi Pegadaian : Raport Kecilku, Masa Depan Anakku, dan Harapan MengEMASkan Indonesia

17 September 2025   10:57 Diperbarui: 17 September 2025   10:57 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aku dan raportku semasa sekolah Madrasah Ibtidaiyah (MI) | Sumber gambar : Dokpri

Hanya saja, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada beberapa kendala yang menghambat laju pendidikan di negara kita. Diantaranya adalah angka putus sekolah yang masih terus menjadi masalah.

Data Pokok Pendidikan (Dapodik) akhir November tahun 2024 lalu menyatakan bahwa masih ada sekitar 38.540 (0.16%) siswa SD putus sekolah. Sedangkan jenjang SMP mencapai 12.210 (0.12%) siswa, SMA sebanyak 6.716 (0.13%) siswa, dan SMK sejumlah 9.391 (0.19%) siswa.

Faktor ekonomi keluarga hampir selalu masuk hitungan sebagai penyebab utama masalah tersebut.

Negara sebenarnya tidak kekurangan effort dalam memberi dukungan melalui pemberian beasiswa, program pendidikan gratis, dan lain sebagainya.  Tetapi, pada kenyataannya kasus siswa putus sekolah masih saja terjadi.

Masa Depan Pendidikan Anak

Perlu kita sadari bahwa urusan biaya sekolah itu tidak melulu hanya terkait membayar uang SPP, uang gedung, atau uang semester saja.

Namun, ada biaya sekolah lain seperti membayar iuran kegiatan tertentu, acara study tour, manasik haji, perlengkapan sekolah (tas, buku, pensil, sepatu), ongkos transportasi, hingga uang jajan.

Seorang anak ketika sekolahnya mengadakan acara dan menarik iuran dari siswa tetapi ia tidak sanggup membayar maka lambat laun hal itu akan memantik ketidaknyamanannya apabila situasi serupa terus berulang.

Begitupun saat pakaian seragam mereka rusak namun tidak punya uang untuk membeli gantinya. Atau saat mereka berangkat sekolah tanpa uang jajan setiap hari tetapi harus melihat teman-temannya yang membeli jajanan sesuka hati.

Bukan tidak mungkin anak-anak tersebut lantas memutuskan menghindar dari hiruk pikuk lingkungan sekolah yang menurut mereka kurang bersahabat. Ada perasaan rendah diri yang terpupuk dan tumbuh menguat dalam hati mereka hingga akhirnya berujung frustasi.

Terkadang, putus sekolah bisa bermula dari sesuatu yang kita pandang sederhana namun nyatanya memberi efek dahsyat dalam benak mereka.

Hal inilah yang juga saya khawatirkan ketika anak saya akan memasuki jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) sekitar satu setengah tahun yang lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun