Di dalam dunia yang semakin terhubung oleh digitalisasi, "cancel culture" telah menjadi fenomena yang mengguncang sisi-sisi kehidupan sosial kita. Di satu sisi, hal ini merupakan wujud ekspresi dari suatu upaya menegakkan nilai-nilai moral dan etika di ruang publik. Tapi, di sisi lain, ada kecenderungan bahwa cancel culture justru menjadi bentuk baru dari ketidakmampuan kita untuk menoleransi perbedaan dan atau kesalahan.
Situasi tersebut seakan mengarahkan kita pada sebuah pertanyaan besar tentang seperti apa batasan dari kebebasan berekspresi dengan bagaimana moralitas berkembang di dalam era digital ini.
Cancel culture, mungkin bukanlah fenomena baru. Namun, dalam bentuknya yang paling kuat saat ini, khususnya di media sosial, cancel culture lebih sering dipandang sebagai alat untuk "menghukum" individu atau kelompok tertentu yang dianggap telah melanggar norma sosial.
Namun, di balik semua itu, ternyata malah muncul satu paradoks yaitu kita berusaha untuk membangun moralitas yang lebih baik melalui tindakan penghapusan atau pembungkaman. Apakah tujuan untuk menegakkan moralitas akan tercapai melalui pengorbanan kebebasan berbicara dan berpendapat?
Filsuf dan penulis asal Jerman, Friedrich Nietzsche, pernah mengatakan "He who fights with monsters should look to it that he himself does not become a monster." (Dia yang berperang dengan monster, harus berhati-hati agar tidak menjadi monster itu sendiri.)
Dalam hal ini kita harus ingat bahwa meskipun kita sedang berjuang untuk melindungi moralitas dan etika melalui cancel culture, kita tetap harus waspada agar tujuan tersebut tidak sampai membuat kita terperangkap dalam cara-cara yang justru merusak prinsip kebebasan yang selama ini kita hargai.
Jangan sampai dalam upaya menegakkan kebenaran, kita malah jatuh ke dalam jebakan untuk menghukum, memfonis, dan menindas orang lain.
Fenomena ini menyiratkan bahwa moralitas kita, meskipun penting, seringkali terjebak dalam kontradiksi di dunia digital. Kebebasan berpendapat yang sejatinya merupakan hak dasar manusia justru terganggu dengan kehadiran algoritma yang secara selektif memilih mana yang "layak" untuk dilihat dan mana yang harus disingkirkan.
Dalam beberapa kasus, cancel culture justru menghilangkan peluang untuk berproses dan belajar dari kesalahan. Sebuah hal yang sebenarnya esensial dalam proses perkembangan manusia menjadi pribadi yang lebih matang dan bijaksana.
Di sinilah kita perlu merenung, apakah kita telah benar-benar bisa menegakkan moralitas dengan mengabaikan ruang untuk pertumbuhan dan pemahaman yang lebih dalam bagi oarang-orang di sekitar?Â
Batas Kebebasan Berekspresi
Bebas berbicara memang merupakan hak setiap individu, akan tetapi di dunia digital, kebebasan tersebut sepertinya mulai semakin terkekang.
Dalam kehidupan dunia nyata, kita memiliki cukup ruang untuk berdiskusi, berdebat, bahkan berdebat keras sekalipun, dengan harapan bisa mencapai kesepakatan atau pemahaman yang lebih baik. Namun, di dunia maya, kebebasan berpendapat mulai tercabik-cabik oleh kekuatan opini publik yang cenderung membangun siklus kemarahan dan penghukuman cepat.
Data menunjukkan bahwa lebih dari 60% pengguna media sosial merasa "terbebani" oleh tekanan untuk mengikuti norma sosial tertentu yang berkembang dengan cepat di platform mereka. Mereka yang berani menyuarakan pendapat berbeda dari arus utama seringkali dianggap "bermasalah", sehingga membawa dampak pada reputasi mereka.
Tak ayal, hal inipun menciptakan suasana ketakutan yang pada akhirnya mereduksi kualitas diskursus publik.
Namun, perlu diingat bahwa bagaimanapun juga tidak ada atau sangat sulit sekali menghindar dari kesalahan. Karl Popper, seorang filsuf dari abad ke-20 menyatakan, "We are ready to tolerate errors, because we can learn from them." (Kita siap untuk mentolerir kesalahan, karena kita bisa belajar darinya.)
Ketika kita menciptakan ruang di mana kesalahan dianggap sebagai sesuatu yang perlu dihukum, kita sebenarnya telah menutup pintu bagi perbaikan dan refleksi diri. Di sinilah letak salah kaprah dari cancel culture tersebut. Alih-alih memberi ruang untuk pembelajaran, kita justru memperburuk ketegangan dengan penghukuman yang tidak memberikan ruang untuk memperbaiki diri.
Pernahkah Anda mendengar tentang "moral panic"? Yakni suatu kondisi ketika masyarakat merasa cemas terhadap hal-hal yang dinilai "berbahaya" bagi norma atau nilai-nilai moral mereka.
Cancel culture bisa dianggap sebagai sebuah bentuk moral panic di era modern. Apa yang dulunya bisa dianggap sebagai perdebatan atau kritik yang sah, sekarang cenderung diterjemahkan sebagai ancaman terhadap moralitas yang harus segera dihilangkan.
Hal ini adalah sebuah krisis etika yang mencerminkan ketakutan kita terhadap perubahan nilai. Apapalgi di dalam dunia yang semakin kompleks, kita cenderung menggantungkan pemahaman pada prinsip-prinsip yang kaku dan hitam-putih. Padahal, moralitas bukanlah hal yang sederhana, apalagi di dunia yang serba terhubung ini.
Moralitas itu terus bergerak, berkembang, dan seringkali dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial dan historis.
Dengan semangat yang membawa perubahan cepat dan tuntutan atas kesalahan yang terkadang bersifat trivial, cancel culture bisa mereduksi pembelajaran dan evolusi moralitas itu sendiri. Lantas, bagaimana kita bisa belajar dari kesalahan jika kita tidak memberi ruang untuk itu?
Socrates berkata, "The only true wisdom is in knowing you know nothing." (Kebijaksanaan sejati adalah mengetahui bahwa kamu tidak tahu apa-apa.) Sehingga, demi beranjak menuju pemahaman yang lebih mendalam, kita harus memberi ruang bagi kesalahan agar terjadi pembelajaran.
Dampak Psikologis Cancel Culture
Mengalami cancel di dunia maya bisa saja mempengaruhi psikologi seseorang. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa individu yang di-cancel secara online sering mengalami depresi, kecemasan, dan perasaan terisolasi.
Tidak jarang, mereka merasa bahwa segala kesalahan mereka akan terus menghantui seumur hidup, bahkan setelah mereka mencoba untuk berubah.
Tentu saja, ini merupakan bagian dari paradoks cancel culture. Sementara kita berusaha menegakkan moralitas, kita sering kali gagal melihat dampaknya pada kesejahteraan mental seseorang. Psikologi masyarakat semakin cemas, terperangkap dalam ketakutan untuk melakukan kesalahan dan menjadi sasaran pembatalan.
Namun, dalam kebudayaan yang lebih inklusif dan berkembang, kita bisa melihat pendekatan yang lebih positif dan konstruktif. Bren Brown, seorang peneliti dan penulis, pernah mengatakan, "Staying vulnerable is a risk we have to take if we want to experience connection." (Tetap rentan adalah risiko yang harus kita ambil jika kita ingin merasakan koneksi.)
Dengan demikian, menjaga ruang untuk kerentanan, untuk kesalahan dan pemulihan, adalah sebuah fondasi bagi hubungan yang lebih sehat, baik secara individu maupun sosial.
Memang, tidak ada cara yang mudah untuk mengakhiri cancel culture. Hanya saja, langkah pertama yang bisa kita lakukan adalah mengubah cara kita berpikir tentang kesalahan dan pembelajaran.
Alih-alih berfokus pada hukuman dan penghapusan, kita justru perlu memberikan lebih banyak ruang untuk pemulihan serta kolaborasi. Terlebih di dalam dunia yang semakin terhubung ini, kita dapat membangun sistem yang lebih mendukung perbaikan daripada penghukuman.
Kita perlu bekerja bersama, memupuk budaya yang menekankan dialog dan refleksi daripada meng-cancel.
Sebagai masyarakat, kita harus belajar untuk mendengar dengan lebih baik. Berdialog, berkolaborasi, dan pemahaman bersama adalah jalan menuju dunia yang lebih inklusif, di mana moralitas tidak hanya ditegakkan melalui hukuman, tetapi juga melalui pemahaman dan pembelajaran bersama.
Kita perlu berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri, apakah kita benar-benar ingin membangun dunia yang lebih baik dengan mengorbankan kebebasan dan pemahaman? Atau akankah kita memilih untuk menegakkan nilai-nilai moral dengan cara yang lebih bijak dengan memberikan ruang untuk kesalahan, belajar, dan berkembang?
Cancel culture, secara esensi bukanlah untuk menghancurkan orang lain, melainkan tentang bagaimana kita bisa berkolaborasi untuk menciptakan sebuah dunia yang lebih adil, lebih bijaksana, dan lebih manusiawi. Karena semua orang berhak untuk tumbuh dan menjadi lebih bijaksana sebagai manusia.
Maturnuwun,
Growthmedia
NB : Temukan artikel cerdas lainnya di www.agilseptiyanhabib.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI