Bebas berbicara memang merupakan hak setiap individu, akan tetapi di dunia digital, kebebasan tersebut sepertinya mulai semakin terkekang.
Dalam kehidupan dunia nyata, kita memiliki cukup ruang untuk berdiskusi, berdebat, bahkan berdebat keras sekalipun, dengan harapan bisa mencapai kesepakatan atau pemahaman yang lebih baik. Namun, di dunia maya, kebebasan berpendapat mulai tercabik-cabik oleh kekuatan opini publik yang cenderung membangun siklus kemarahan dan penghukuman cepat.
Data menunjukkan bahwa lebih dari 60% pengguna media sosial merasa "terbebani" oleh tekanan untuk mengikuti norma sosial tertentu yang berkembang dengan cepat di platform mereka. Mereka yang berani menyuarakan pendapat berbeda dari arus utama seringkali dianggap "bermasalah", sehingga membawa dampak pada reputasi mereka.
Tak ayal, hal inipun menciptakan suasana ketakutan yang pada akhirnya mereduksi kualitas diskursus publik.
Namun, perlu diingat bahwa bagaimanapun juga tidak ada atau sangat sulit sekali menghindar dari kesalahan. Karl Popper, seorang filsuf dari abad ke-20 menyatakan, "We are ready to tolerate errors, because we can learn from them." (Kita siap untuk mentolerir kesalahan, karena kita bisa belajar darinya.)
Ketika kita menciptakan ruang di mana kesalahan dianggap sebagai sesuatu yang perlu dihukum, kita sebenarnya telah menutup pintu bagi perbaikan dan refleksi diri. Di sinilah letak salah kaprah dari cancel culture tersebut. Alih-alih memberi ruang untuk pembelajaran, kita justru memperburuk ketegangan dengan penghukuman yang tidak memberikan ruang untuk memperbaiki diri.
Pernahkah Anda mendengar tentang "moral panic"? Yakni suatu kondisi ketika masyarakat merasa cemas terhadap hal-hal yang dinilai "berbahaya" bagi norma atau nilai-nilai moral mereka.
Cancel culture bisa dianggap sebagai sebuah bentuk moral panic di era modern. Apa yang dulunya bisa dianggap sebagai perdebatan atau kritik yang sah, sekarang cenderung diterjemahkan sebagai ancaman terhadap moralitas yang harus segera dihilangkan.
Hal ini adalah sebuah krisis etika yang mencerminkan ketakutan kita terhadap perubahan nilai. Apapalgi di dalam dunia yang semakin kompleks, kita cenderung menggantungkan pemahaman pada prinsip-prinsip yang kaku dan hitam-putih. Padahal, moralitas bukanlah hal yang sederhana, apalagi di dunia yang serba terhubung ini.
Moralitas itu terus bergerak, berkembang, dan seringkali dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial dan historis.
Dengan semangat yang membawa perubahan cepat dan tuntutan atas kesalahan yang terkadang bersifat trivial, cancel culture bisa mereduksi pembelajaran dan evolusi moralitas itu sendiri. Lantas, bagaimana kita bisa belajar dari kesalahan jika kita tidak memberi ruang untuk itu?