Socrates berkata, "The only true wisdom is in knowing you know nothing." (Kebijaksanaan sejati adalah mengetahui bahwa kamu tidak tahu apa-apa.) Sehingga, demi beranjak menuju pemahaman yang lebih mendalam, kita harus memberi ruang bagi kesalahan agar terjadi pembelajaran.
Dampak Psikologis Cancel Culture
Mengalami cancel di dunia maya bisa saja mempengaruhi psikologi seseorang. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa individu yang di-cancel secara online sering mengalami depresi, kecemasan, dan perasaan terisolasi.
Tidak jarang, mereka merasa bahwa segala kesalahan mereka akan terus menghantui seumur hidup, bahkan setelah mereka mencoba untuk berubah.
Tentu saja, ini merupakan bagian dari paradoks cancel culture. Sementara kita berusaha menegakkan moralitas, kita sering kali gagal melihat dampaknya pada kesejahteraan mental seseorang. Psikologi masyarakat semakin cemas, terperangkap dalam ketakutan untuk melakukan kesalahan dan menjadi sasaran pembatalan.
Namun, dalam kebudayaan yang lebih inklusif dan berkembang, kita bisa melihat pendekatan yang lebih positif dan konstruktif. Bren Brown, seorang peneliti dan penulis, pernah mengatakan, "Staying vulnerable is a risk we have to take if we want to experience connection." (Tetap rentan adalah risiko yang harus kita ambil jika kita ingin merasakan koneksi.)
Dengan demikian, menjaga ruang untuk kerentanan, untuk kesalahan dan pemulihan, adalah sebuah fondasi bagi hubungan yang lebih sehat, baik secara individu maupun sosial.
Memang, tidak ada cara yang mudah untuk mengakhiri cancel culture. Hanya saja, langkah pertama yang bisa kita lakukan adalah mengubah cara kita berpikir tentang kesalahan dan pembelajaran.
Alih-alih berfokus pada hukuman dan penghapusan, kita justru perlu memberikan lebih banyak ruang untuk pemulihan serta kolaborasi. Terlebih di dalam dunia yang semakin terhubung ini, kita dapat membangun sistem yang lebih mendukung perbaikan daripada penghukuman.
Kita perlu bekerja bersama, memupuk budaya yang menekankan dialog dan refleksi daripada meng-cancel.
Sebagai masyarakat, kita harus belajar untuk mendengar dengan lebih baik. Berdialog, berkolaborasi, dan pemahaman bersama adalah jalan menuju dunia yang lebih inklusif, di mana moralitas tidak hanya ditegakkan melalui hukuman, tetapi juga melalui pemahaman dan pembelajaran bersama.
Kita perlu berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri, apakah kita benar-benar ingin membangun dunia yang lebih baik dengan mengorbankan kebebasan dan pemahaman? Atau akankah kita memilih untuk menegakkan nilai-nilai moral dengan cara yang lebih bijak dengan memberikan ruang untuk kesalahan, belajar, dan berkembang?