Mohon tunggu...
youghtly
youghtly Mohon Tunggu... Hi I'm Here

tulisan merupakan pelarian dari liarnya pikiran

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Hidupnya Kematian (Senandika)

15 Agustus 2025   16:49 Diperbarui: 15 Agustus 2025   16:49 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jauh, jauh sekali sebelum stigma dalam kepala menjadi pertanda, tatkala jumlah pengikut masih dianggap nihil belum menggoda, murni, sakral, tanpa dosa.

Kejadiannya persis sesaat sebelum tali pengikat terhentak pada titik penahan akibat jatuhnya tubuh sebuah ihsan. Saat mata berada di antara tilikan nirwana dan neraka, saat itu pula sukma melompat menopang raga.

Prosesnya begitu cepat, singakatnya ia selamat. Setidak-tidaknya akan dua hal. Yang pertama, batalnya pertemuan hamba tercela dengan kuasa sempurna. Yang kedua, tumbuhnya kesadaran baru tanpa makna yang dikemudian hari akan disadari sebagai kekuatan ilahi.

Magis, jika dibaca kata perkata kalimat tadi tak lebih dari anafora, tekanan pengingat diri yang sejentik lagi berhenti, sebuah prosa yang lahir dari berantakannya pena, dari pujangga yang berusaha meromantisasi senandikanya.

Epilog

Setengah buram aku dapat merasakan, burung-burung berterbangan, puluhan helai cemara rontok dari balik mentari menutup sejenak pandangan, aliran sungai jernih meliuki batu sedimen menutup kebisingan, bahkan terdapat sosok mengepak punggung membawa cerek emas di atas talam pergi menuju singgahan.

Tempat itu penuh warna yang meninabobokan.

Sebaliknya, tempat lain begitu mencekam, aku menerka di sana sedang terjadi pergolakan. Betul, aku tak sampai hati untuk menoleh, dari suara gelembung didihan saja buluku lari berdiri, tempat itu lebih dari kamp konsentrasi, lebih keji dari nazi pada yahudi, lebih ngeri dari bayangan atas kengerian itu sendiri.

Setelah melihat dua sisi tadi, untungnya hidup tetap berjalan. Pada titik suri menuju mati, aku malah menemukan kehidupan, ironi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun