Mohon tunggu...
Eko Setiaone
Eko Setiaone Mohon Tunggu... Freelancer - Human-Center Oriented Activism, Participatory Planner, Story Teller, Free man

"Kesalahan besar bangsa ini adalah seringkali melupakan sejarah, dan mengabaikan aspirasi orang-orang kecil. Dunia sudah modern, seharusnya tak menjadi penghalang. Saya memelajari sejarah dan mencari aspirasi dari masyarakat marginal untuk melawan kesembarangan pemerintah/ perusahaan/ pelaku usaha. Dunia tak akan adil jika semua orang menjadi kapitalis"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Popularitas dan Pesan Moral Lagu "Dagang Pindang": Seni Mengeluhkan Hidup ala Orang Pantura

17 September 2020   08:38 Diperbarui: 25 Mei 2021   00:01 1788
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Lagu Dagang Pindang, Youtube WM Studio Official 2020

Saya, adalah pekerja lepas yang dirumahkan akibat pandemi. Biasanya, sebelum pandemi ini berlangsung, saya membantu beberapa warga di kecamatan Coblong, Kota Bandung untuk mengadakan kegiatan-kegiatan pendampingan untuk program inovasi kampung. Mendengar corona, menjadi pandemi dunia. 

Beberapa program itu akhirnya, "ditiadakan", akibat harus mengalami refokusing kegiatan. Di luar pekerja lepas "ala fasilitator", saya biasanya membantu bisnis rekan-rekan saya di bidang jasa tur guide atau event Kota Bandung. 

Ahh, rasanya tidak seberapa ketika covid 19, hidup sangat pusing sehingga saya memutuskan untuk mencukupi aktivitas saya di Bandung dan pergi ke kampung / desa untuk menjadi buruh paruh waktu di warung bapak. Sisa waktu yang ada, saya manfaatkan untuk membentuk kelompok usaha lele dan kelompok belajar jarak jauh. 

Menjadi orang kampung pesisir utara, dengan pendidikan yang cukup baik tidak melulu gampang mendapatkan pekerjaan. Minimnya relasi pekerjaan di daerah, dan mungkin nasib yang belum mujur, selalu menjadi kendala untuk mendapat pekerjaan di daerah sendiri yang lebih baik. 

Dari mulai mengunjungi beberapa kepala desa, yang saya kenal untuk meminta alokasi dana pendampingan desa, rekan-rekan di dinas atau instansi daerah. 

Semuanya menyatakan "dana pendampingan direfokusing untuk BLT Covid 19". Belum lagi, sial karena kuota BLT untuk orang-orang yang di-PHK kan seperti saya ini, diprioritaskan untuk karyawan di daerah. 

"Ahhh, susah sekali hidup ini, tidak apa-apa"

Saya yang terpikir, untuk berwirausaha. Akhirnya bergabung bersama koperasi lele milik saudara sendiri, Miftakhudin. Sembari itu, saya membantu bapak/ ibu untuk membantu mengurusi jualan bubur/ kacang. 

Baca juga : Para Nelayan Pantura Siap "Goyang" Natuna

Selebihnya, saya berkeliling ke desa, sambil berekreasi di tengah pandemic sekaligus mencoba mempekaryakan diri saya di lembaga swadaya AKSITARU Indonesia. Sebuah platform belajar untuk masyarakat desa, untuk meningkatkan kualitas SDM mereka dari pemahaman teknik.

Di tengah perjalanan saya di beberapa desa.

Banyak sekali warga yang membuka jasa karoke, sebagai jasa hiburan. Di komplek permukiman, di kafe/ warung tenda siang hari, di pasar, dan di jalan dekat lapak jualan. 

Serasa tiap hari, makin banyak berjamuran warga yang berkeliling memberikan jasa "suara jeritan hidup", yang ditukar dengan saweran, baik uang recehan atau kertas sepuluh/ dua puluh ribuan. Lirik yang ia sering dengungkan juga mengutarakan pesan moral yang sangat dalam. Salah satunya adalah lagu dagang pindang

Lagu itu ternyata lagu yang dipopulerkan oleh Sultan Trenggono, sejak bulan Maret 2020 lalu. Baru kemudian dipopulerkan kembali pada bulan juli 2020, oleh dian Anic sejak bulan Juli 2020. Lagu tersebut, berjudul Dagang Pindang. Yang menarik, mengapa lagu  ini baru popular hari ini di kalangan masyarakat akhir-akhir ini ? Mari kita pahami, satu-persatu makna dalam lagu ini.

"Endase koyoan kabeh, demenan selingkuh bae. Mlaku ora kathon dalan, akibat petheng delenan. Sampai ilang nafsu mangan, dilelara ng demenan. Ati sun lara, kecewa karo nelangsa."

Artinya, kurang lebih seperti ini jika diterjemahkan. Kepala sudah ditempel koyo, kekasih suka selingkuh. Berjalan tidak terlihat jalanan, karena gelap jalanan. Sampai hilang nafsu makan, disakiti kekasih. Hati rasanya kecewa dan sengsara.

Jika kita mencermati dengan baik, pesan moral yang ingin disampaikan oleh lagu tersebut. Semuanya bermula dari hubungan cinta kasih, dua insan manusia, yang berada dalam kelompok masyarakat marjinal di Pesisir Pantai Utara (PANTURA). Sebut saja, Tarsinah (perempuan), dan Kang Endang (laki-laki) yang kebetulan berjualan ikan pindang.

Baca juga : Jalur Pantura, Riwayatmu Kini

Kang endang yang cintanya sangat tulus dan besar, mengungkap kan bahwa hidupnya hanya untuk tarsinah. Walau susahnya hidup sekalian, ia rela melakukan apapun hanya untuk Tarsinah, kekasih pujaan hatinya. Ungkapan tersebut diungkapkan pada lirik lagu berikut.

 "Senok Pernah njaluk gelang, sun rela bobok celengan. Rumasa kita wong laka, rela korban jiwa raga. Dilawani dagang pindang, ora isin ora wirang. Tapia pa sing ta terima, lara wirang sing ta rasa."

Kurang lebih artinya demikian, "yang bersangkutan (Tarsinah) pernah meminta gelang, saya rela memecah celengan/ tabungan. Mengingat, saya orang tak berpunya. Saya rela mengorbankan jiwa dan raga. Demi itu, saya rela berjualan ikan pindang/ bandeng, tak peduli malu atau rendah diri. Tetapi apa yang saya dapat, hanya kesakitan akibat cinta yang saya rasakan"

Kesusahan-kesusahan itu, dilantunkan oleh penyanyi , Sultan Trenggono (penyanyi pantura), dengan penghayatan yang luar biasa apik. Expresi yang bagus, dan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat Pantura (Subang- Indramayu- Cirebon- Brebes-  Tegal- Pemalang). 

Belum lagi, lagu ini dicover kembali oleh penyanyi dian anic, makin meyakinkan betul bahwa lagu ini adalah ungkapan "kesusahan hidup masyarakat Pantura hari ini". Fenomena ini juga benar-benar berdampak pada kehidupan nyata. Angka perceraian di daerah "Pantura" diatas, akhir --akhir ini meningkat drastis, kurang lebih 30-50% lonjakan angka perceraian dari tahun sebelumnya. 

Memang, Kesusahan hidup apa saja, yang dirasakan masyarakat Pantura?

Keluhan yang saya dengar, ketika saya jalan jalan, atau berada di lapak yang berasal dari petani dan pelapak di warung bapak. Diantaranya,

Bagi petani dan buruh tani, susahnya menjual hasil panen dengan harga yang layak, terutama untuk komoditas padi beras, kacang-kacangan dan sayuran.  Ditambah mahalnya biaya pupuk, obat hama atau obat-obat lainnya,yang minim subsidi serta sewa lahan yang cukup mahal ditengah pandemi ini, umumnya menjadi keluhan mereka.

Baca juga : Jalingkut Brebes Pantura

Bagi penjual di pasar, dengan makin sadarnya warga masyarakat tentang corona. Ada ketakutan menurut mereka, konsumen tidak mau datang ke pasar. Beberapa pelapak penjual di dalam pasar, semua nya mengeluh sepi dan menurunnya omset. Belum lagi, kini marak penjual sayuran dan buah-buahan keliling kampung yang berasal dari daerah pegunungan Slamet. Satu sisi lebih mendekatkan konsumen, satu sisi lainnya berdampak pada minimnya pengunjung di pasar.

Bagi bapak saya, dan penjual warung kaki lima/ lapak tenda, mereka mengeluh bahwa omset berkurang, dan umumnya mereka membungkus makanan.

Bagi para tukang ikan atau nelayan. Harga ikan tangkap di pasar, tidak berubah. Meski permintaan naik tetapi harga dan nilai jual ikan, dikeluhkan mengalami stagnan. Sementara ikan budidaya, lele dsb. Yang saat ini masih lebih baik.

Bagi para tukang angkot, tukang ojek, tukang becak di beberapa terminal. Terdapat penurunan angkutan , kurang lebih 50% dari hari hari biasanya.

Bagi para tukang dan kuli bangunan, hampir sebagian besar kegiatan jasa konstruksi di desa, berhenti total. Mobilitas proyek rumahan, proyek lingkungan dan proyek desa, kecuali proyek strategis. Semuanya belum ada kemajuan sejak mei 2020.

Bagi para pedagang warteg, nasi goreng dan martabak di kota Jakarta. Sebagian besar dari mereka memutuskan pulang kampung, pasca PSBB Jakarta 14 september 2020 kemarin. Omset mereka masih lebih baik jika berjualan di sekitar daerah sendiri.

, dan kesusahan hidup lainnya.

Kesemuanya, adalah riil, terjadi di desa. Kesusahan hidup orang- orang itu, jika tidak ditanggulangi secara serius. Maka, ada peringatan besar negara ini diambang krisis dan meningkatnya dampak turunan sosial lainnya. Tetapi jika kemudian melihat kultur masyarakat pantura, hari ini. 

Penulis melihat, masyarakat pantura tidak akan bertindak melakukan revolusi besar-besaran, seperti era 65 atau 98. Penulis melihat, pemerintahan hari ini akan langgeng, diatas banyaknya realita hidup hari ini. 

Mengingat, apa yang dilakukan masyarakat Pantura dengan menghibur dirinya, melalui lagu Pantura sudah cukup mengobati kesusahan hidup yang makin terasa. Kita perlu belajar dari mereka. 

Kita juga perlu prihatin dan sama-sama perlu mencarikan solusi, minimal melihat apakah disamping rumah kita, ada tetangga yang sudah makan/ tidak. Solidaritas seperti ini lah yang perlu kita jaga. Ketika pandemi ini tidak secara serius, ditangani pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun