Mohon tunggu...
adamfirman
adamfirman Mohon Tunggu... Mahasiswa / UIN RADEN MAS SAID

Hobi saya adalah bersholawat kepada Nabi Muhammad SAW

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Tugas Review Buku Hukum Acara Peradilan Agama

11 Oktober 2025   19:05 Diperbarui: 11 Oktober 2025   19:05 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

  • Judul : Hukum Acara Peradilan Agama Plus Prinsip Hukum Acara Islam dalam Risalah Qadha Umar bin Khattab
  • Penulis : Dr. Hj. Aah Tsamrotul Fuadah, M.Ag.
  • Penerbit : Rajawali Pers, Depok
  • Cetakan : Cetakan ke-1 (Maret 2019), Cetakan ke-2 (September 2019)
  • Tebal : xii + 298 halaman
  • ISBN : 978-602-425-865-8

PENDAHULUAN

Kajian tentang hukum acara peradilan agama merupakan salah satu bidang yang sangat penting dalam perkembangan studi hukum di Indonesia. Hukum acara berfungsi sebagai perangkat formil yang menjamin terlaksananya hukum materiil secara efektif di pengadilan. Tanpa adanya hukum acara, maka hukum materiil yang sudah dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam hukum Islam tidak akan dapat ditegakkan secara nyata. Dalam konteks peradilan agama, urgensi hukum acara menjadi semakin besar karena bidang yang menjadi kewenangannya sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari umat Islam, seperti masalah perkawinan, perceraian, kewarisan, wakaf, hibah, hingga ekonomi syariah.

Buku berjudul "Hukum Acara Peradilan Agama Plus Prinsip Hukum Acara Islam dalam Risalah Qadha Umar bin Khattab" karya Dr. Hj. Aah Tsamrotul Fuadah hadir sebagai referensi akademik yang komprehensif dalam bidang ini. Penulis mencoba tidak hanya memaparkan dasar-dasar hukum acara peradilan agama yang berlaku di Indonesia, tetapi juga menautkannya dengan prinsip-prinsip hukum acara Islam klasik, khususnya yang bersumber dari Risalah Qadha Umar bin Khattab. Pendekatan ini menjadi istimewa karena menjembatani antara regulasi hukum positif dengan nilai-nilai keadilan yang bersifat normatif-transendental.

Sebagai buku ajar, karya ini disusun untuk mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum, namun cakupannya sebenarnya cukup luas untuk dijadikan rujukan para dosen, peneliti, maupun praktisi di lingkungan pengadilan agama.

ISI BUKU

1. BAGIAN PENGANTAR

Pada bagian pengantar buku, penulis memulai dengan meletakkan fondasi filosofis mengapa hukum acara peradilan agama penting untuk dipelajari. Ia menegaskan bahwa manusia sebagai makhluk sosial tidak pernah bisa lepas dari interaksi dengan sesamanya. Dalam interaksi itu, benturan kepentingan atau conflict of interest hampir tidak dapat dihindari. Untuk itulah diperlukan aturan hukum yang mengikat, bukan saja dalam bentuk hukum materiil yang menetapkan hak dan kewajiban, tetapi juga hukum formil yang menjamin agar hak dan kewajiban itu bisa ditegakkan melalui mekanisme peradilan.

Hukum acara peradilan agama dalam buku ini ditempatkan sebagai hukum formil yang bersifat ius curia novit, yakni hukum yang mengatur tata cara bagaimana perkara diajukan, diperiksa, diputus, dan dieksekusi oleh pengadilan. Dengan demikian, ia berfungsi sebagai "alat" untuk menegakkan hukum Islam yang telah ditetapkan sebagai hukum materiil di Indonesia. Tanpa hukum acara, maka aturan-aturan dalam hukum Islam seperti perkawinan, perceraian, atau kewarisan hanya akan menjadi teks normatif yang tidak memiliki daya paksa.

Penulis kemudian mengaitkan hukum acara peradilan agama dengan hukum acara perdata. Menurutnya, hukum acara peradilan agama pada dasarnya mengacu pada hukum acara perdata yang berlaku di peradilan umum, tetapi dengan modifikasi khusus yang disesuaikan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan kedua amandemennya. Hal ini menunjukkan adanya kesinambungan antara sistem hukum nasional dan hukum Islam, sekaligus memperlihatkan bahwa keberadaan peradilan agama tidaklah terpisah dari sistem hukum nasional, tetapi merupakan bagian integral di dalamnya.

Lebih lanjut, bagian pengantar ini menyinggung tentang tujuan pembelajaran hukum acara peradilan agama. Penulis menekankan bahwa buku ini ditujukan untuk mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum agar mereka memiliki pengetahuan praktis mengenai cara berperkara di pengadilan agama. Dari mulai menyusun gugatan, mengajukan permohonan, menghadapi proses persidangan, hingga memahami putusan dan eksekusinya. Dengan kata lain, penulis ingin memberikan gambaran menyeluruh tentang "alur" beracara di pengadilan agama, sehingga mahasiswa tidak hanya memahami hukum secara konseptual, tetapi juga siap untuk menghadapi praktik nyata di dunia peradilan.

Yang menarik, pada bagian pengantar juga diberikan peta konsep pembelajaran. Peta konsep ini membagi keseluruhan isi buku menjadi empat bagian besar:

Bagian Pengantar -- membahas pengertian hukum acara peradilan agama, sumber hukumnya, serta asas-asas yang mendasarinya.

Bagian Anasir Hukum Acara -- menjelaskan unsur-unsur pokok dalam beracara, seperti para pihak, hakim, panitera, dan jurusita.

Bagian Konstruksi Hukum Acara -- berisi uraian teknis tentang proses berperkara dari awal hingga akhir.

Bagian Prinsip Hukum Acara Islam -- mengangkat risalah Umar bin Khattab sebagai rujukan normatif untuk menilai sejauh mana praktik peradilan sesuai dengan nilai keadilan Islam.

Peta konsep ini bukan sekadar penjelasan struktural, tetapi juga menunjukkan pendekatan sistematis penulis. Ia ingin agar mahasiswa atau pembaca melihat hukum acara peradilan agama sebagai sebuah bangunan utuh: ada dasar teoritisnya, ada unsur-unsur yang menyusunnya, ada konstruksi proseduralnya, dan ada pula fondasi nilai Islam yang mendasarinya. Dengan begitu, hukum acara tidak hanya dipahami sebagai kumpulan pasal-pasal undang-undang, melainkan sebagai sebuah sistem yang hidup dan berfungsi dalam masyarakat.

Secara naratif, bagian pengantar buku ini berhasil menempatkan pembaca pada kerangka berpikir yang utuh. Ia tidak hanya mengajak pembaca memahami apa itu hukum acara, tetapi juga mengapa hukum acara itu ada, bagaimana posisinya dalam sistem hukum nasional, dan untuk apa dipelajari oleh mahasiswa. Dengan demikian, bagian pengantar ini berperan sebagai pintu masuk yang mempersiapkan pembaca untuk memahami uraian teknis yang lebih rinci pada bab-bab berikutnya.

2. Pengertian dan Sumber Hukum Acara Peradilan Agama

Pada bagian kedua, penulis mengawali pembahasan dengan memberikan penekanan terhadap pentingnya memahami definisi hukum acara peradilan agama. Hal ini dianggap krusial karena dari definisi yang tepat, kita dapat mengetahui ruang lingkup, fungsi, dan kedudukan hukum acara dalam sistem hukum Indonesia.

a. Pengertian Hukum Acara Perdata dan Relevansinya dengan Peradilan Agama

Penulis mengutip Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang menyatakan bahwa hukum acara yang berlaku di lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku di peradilan umum, kecuali yang secara khusus diatur dalam undang-undang tersebut. Dari ketentuan ini, jelas terlihat bahwa hukum acara peradilan agama merupakan "cabang" dari hukum acara perdata dengan tambahan aturan khusus untuk menyesuaikan konteks umat Islam.

Untuk memperkuat definisi, penulis menyajikan pandangan sejumlah ahli hukum. Misalnya, Wirjono Prodjodikoro mendefinisikan hukum acara perdata sebagai rangkaian aturan yang mengatur bagaimana seseorang harus bertindak di hadapan pengadilan, serta bagaimana pengadilan bertindak dalam menjalankan hukum perdata. Sudikno Mertokusumo melihatnya sebagai aturan untuk menjamin ditaatinya hukum perdata materiil. Sementara Supomo menyebutnya sebagai sarana hakim untuk mempertahankan tata hukum perdata, dan Lilik Mulyadi menegaskan bahwa hukum acara perdata mengatur proses sejak pengajuan perkara, pemeriksaan, hingga pelaksanaan putusan hakim.

Dari berbagai definisi ini, penulis merangkum bahwa hukum acara peradilan agama adalah tata aturan yang memuat cara orang bertindak di hadapan pengadilan agama, serta cara pengadilan agama bertindak untuk menegakkan hukum positif Islam yang menjadi dasar hukum materiil bagi perkara di bawah kewenangannya.

b. Sifat Hukum Acara Peradilan Agama

Penulis juga menyoroti sifat-sifat hukum acara perdata yang otomatis melekat pada hukum acara peradilan agama, antara lain:

Bersifat memaksa (dwingend recht), artinya aturan hukum acara tidak bisa dikesampingkan oleh para pihak. Misalnya, prosedur pemanggilan, tata tertib persidangan, atau mekanisme banding harus dipatuhi.

Penggugat bersifat aktif, karena perkara hanya bisa berjalan bila ada pihak yang menggugat. Hakim tidak bisa bertindak tanpa adanya gugatan yang diajukan.

Sederhana dalam prosedur, meskipun tetap menjaga kepastian hukum dan formalitas. Prinsip kesederhanaan dimaksudkan agar proses persidangan dapat dipahami oleh masyarakat awam tanpa mengorbankan nilai keadilan.

Dari sifat-sifat ini terlihat bahwa hukum acara peradilan agama merupakan sarana untuk menjaga keseimbangan antara kepastian hukum, kemudahan beracara, dan keadilan bagi para pihak.

c. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama

Bagian ini merupakan salah satu bagian terpenting dalam buku karena memuat dasar normatif dari hukum acara yang digunakan di pengadilan agama. Penulis menyebutkan berbagai sumber hukum acara, baik dari hukum nasional maupun dari hukum Islam klasik.

Undang-Undang Peradilan Agama
UU Nomor 7 Tahun 1989 menjadi tonggak utama berdirinya peradilan agama sebagai lembaga formal dalam sistem hukum nasional. UU ini kemudian diamandemen dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009. Di dalamnya diatur kewenangan peradilan agama, sumber hukum acara, serta ketentuan khusus mengenai proses persidangan, terutama perkara perceraian.

HIR (Herziene Inlandsch Reglement) dan RBg (Reglement Buitengewesten)
HIR berlaku di Jawa dan Madura, sedangkan RBg berlaku di luar Jawa dan Madura. Kedua reglemen ini merupakan warisan kolonial Belanda yang hingga kini masih digunakan, terutama dalam aspek hukum acara perdata.

Rv (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering)
Ini adalah reglemen hukum acara perdata untuk golongan Eropa pada masa kolonial. Walaupun pengadilan kolonial telah lama dihapus, sejumlah ketentuan dalam Rv masih dijadikan rujukan dalam praktik peradilan modern.

BW (Burgerlijk Wetboek) dan WvK (Wetboek van Koophandel)
Keduanya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang peninggalan Belanda. Beberapa ketentuannya, terutama mengenai pembuktian dan kepailitan, masih digunakan sebagai rujukan hukum acara.

Undang-Undang Lain
Misalnya, UU Nomor 20 Tahun 1947 tentang banding, UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Semua undang-undang ini menjadi bagian dari sumber hukum acara peradilan agama.

Instruksi Presiden dan Peraturan Mahkamah Agung
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam menjadi rujukan penting, sementara Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) berfungsi sebagai pedoman teknis dalam praktik peradilan.

Yurisprudensi
Putusan Mahkamah Agung dan pengadilan tinggi yang konsisten digunakan dapat menjadi rujukan hakim dalam memutus perkara serupa. Meskipun Indonesia tidak menganut asas binding precedent, yurisprudensi tetap berperan penting dalam memberikan kepastian hukum.

Kitab-Kitab Fikih
Sebelum adanya undang-undang peradilan agama, hakim-hakim agama menggunakan kitab fikih klasik sebagai rujukan hukum acara. Penulis menyebut kitab-kitab seperti Al-Bajuri, Fathul Mu'in, Tuhfah, Mughni al-Muhtaj, hingga Fiqh 'ala Madzahib al-Arba'ah sebagai sumber rujukan yang masih relevan hingga kini.

d. Relevansi Sumber-Sumber Hukum

Yang menarik dari pembahasan ini adalah penekanan penulis pada dualitas sumber hukum acara peradilan agama. Di satu sisi, ia bersandar pada hukum positif Indonesia yang bersifat formal dan legalistik. Di sisi lain, ia tetap menjadikan hukum Islam klasik sebagai pedoman moral dan normatif. Perpaduan ini menjadikan hukum acara peradilan agama tidak hanya sah secara legal, tetapi juga sah secara syar'i.

Hal ini menunjukkan bahwa peradilan agama di Indonesia memiliki identitas ganda: sebagai bagian dari sistem hukum nasional sekaligus sebagai cerminan hukum Islam. Identitas ganda ini justru memperkaya dan memperkuat posisinya, karena mampu menjembatani antara kebutuhan negara modern dengan nilai-nilai keagamaan umat Islam.

3. Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Agama

Setelah membahas pengertian dan sumber hukum acara peradilan agama, penulis masuk pada bagian yang sangat fundamental, yaitu asas-asas hukum acara peradilan agama. Bagian ini penting karena asas adalah "roh" dari seluruh sistem hukum acara. Aturan hukum acara boleh saja berbeda-beda sesuai perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat, namun asas yang mendasarinya relatif tetap dan berfungsi sebagai pedoman dasar bagi hakim maupun para pihak yang berperkara.

Penulis menjelaskan bahwa kata asas berarti dasar, alas, atau pedoman yang menjadi tumpuan berpikir. Dalam konteks hukum acara peradilan agama, asas berarti kebenaran pokok yang menjadi fondasi dalam proses beracara. Tanpa asas, hukum acara hanya akan menjadi kumpulan pasal-pasal prosedural yang kaku tanpa arah filosofis.

a. Asas-Asas Umum

Pertama-tama, penulis menegaskan bahwa hukum acara peradilan agama tidak bisa dipisahkan dari asas hukum acara perdata pada umumnya. Oleh karena itu, asas-asas yang berlaku dalam hukum acara perdata juga berlaku di peradilan agama, ditambah dengan beberapa asas khusus yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 beserta amandemennya.

Beberapa asas umum yang disorot antara lain:

Peradilan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Asas ini tercantum dalam Pasal 4 UU Nomor 48 Tahun 2009. Setiap putusan pengadilan agama selalu diawali dengan kalimat "Bismillahirrahmanirrahim" dan ditutup dengan frasa "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Ini menunjukkan bahwa hukum acara peradilan agama tidak hanya bersifat legal formal, tetapi juga mengandung nilai spiritual dan religius.

Asas sederhana, cepat, dan biaya ringan
Asas ini sangat penting untuk memastikan keadilan dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Proses persidangan yang bertele-tele dan mahal akan menghalangi masyarakat kecil untuk mencari keadilan. Oleh karena itu, hukum acara menuntut agar hakim mengedepankan efisiensi tanpa mengorbankan substansi.

Asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law)
Semua pihak yang berperkara memiliki kedudukan yang sama di depan hakim. Tidak boleh ada diskriminasi atas dasar status sosial, jabatan, kekayaan, atau gender. Hakim wajib mendengar kedua belah pihak (audi et alteram partem) secara seimbang.

Asas independensi hakim
Hakim dalam memutus perkara harus bebas dari intervensi pihak manapun, baik eksekutif, legislatif, maupun kekuatan sosial tertentu. Hanya dengan independensi inilah hakim dapat benar-benar menegakkan hukum dan keadilan.

Asas legalitas
Semua tindakan hakim harus berdasar hukum, bukan pada selera pribadi atau tekanan eksternal. Legalitas ini mencerminkan prinsip rule of law yang menjadi dasar negara hukum.

b. Asas-Asas Khusus dalam Peradilan Agama

Selain asas umum, penulis mengutip pandangan beberapa pakar, seperti Mukti Arto dan Ahmad Mujahidin, yang menguraikan asas khusus dalam peradilan agama. Asas ini bersumber dari UU Nomor 7 Tahun 1989, UU Nomor 3 Tahun 2006, dan UU Nomor 50 Tahun 2009, serta praktik yurisprudensi.

Asas personalitas keislaman
Peradilan agama hanya berwenang memeriksa perkara antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang tertentu seperti perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, sedekah, dan ekonomi syariah. Asas ini menegaskan karakter khusus peradilan agama sebagai lembaga yang mengadili sengketa umat Islam.

Asas islah (perdamaian)
Hakim wajib berusaha mendamaikan para pihak dalam perkara perceraian sebelum memutuskan. Hal ini sesuai dengan Pasal 65 UU Nomor 7 Tahun 1989 dan Pasal 39 UU Perkawinan. Asas ini menunjukkan bahwa peradilan agama tidak hanya mencari kebenaran formal, tetapi juga mengutamakan keharmonisan sosial.

Asas hakim pasif dan aktif
Dalam hal menerima gugatan, hakim bersifat pasif karena tidak boleh memulai perkara tanpa adanya penggugat. Namun dalam persidangan, hakim bersifat aktif memimpin jalannya persidangan, menggali fakta, dan memberikan bantuan hukum pada pihak yang awam.

Asas pemeriksaan terbuka untuk umum
Pada umumnya, persidangan perdata dilakukan secara terbuka. Namun ada pengecualian, misalnya perkara perceraian yang dilakukan tertutup demi menjaga kehormatan para pihak.

Asas unus testis nullus testis
Satu orang saksi bukanlah saksi. Artinya, keterangan satu saksi saja tidak cukup untuk membuktikan perkara tanpa didukung alat bukti lain.

Asas actor sequitur forum rei
Gugatan diajukan di pengadilan tempat tinggal tergugat. Namun, untuk perkara perceraian, gugatan dapat diajukan di tempat tinggal penggugat sesuai Pasal 73 UU Nomor 50 Tahun 2009.

Asas bantuan hukum
Para pihak berhak mendapat bantuan hukum, baik melalui advokat maupun melalui layanan posbakum (pos bantuan hukum) yang disediakan di pengadilan agama.

Asas upaya hukum
Setiap putusan pengadilan dapat ditempuh upaya hukum sesuai ketentuan, seperti banding, kasasi, atau peninjauan kembali. Asas ini menjamin hak para pihak untuk mencari keadilan pada tingkat yang lebih tinggi.

c. Makna Filosofis dari Asas-Asas

Penulis menegaskan bahwa asas bukan hanya formalitas. Ia adalah jiwa dari hukum acara. Misalnya, asas sederhana, cepat, dan biaya ringan memiliki makna filosofis bahwa hukum harus ramah pada masyarakat, bukan hanya pada kaum yang mampu. Asas islah mencerminkan nilai-nilai Islam yang menempatkan perdamaian sebagai tujuan utama. Sedangkan asas independensi hakim memastikan bahwa keadilan tidak bisa diperjualbelikan atau dipengaruhi oleh kekuasaan politik.

Dengan demikian, asas-asas hukum acara peradilan agama menjadi semacam "kompas moral" bagi para hakim dan praktisi hukum. Mereka bukan hanya menjalankan aturan, tetapi juga menginternalisasi nilai keadilan, kemanusiaan, dan ketuhanan.

4. Unsur-Unsur dalam Hukum Acara Peradilan Agama

Setelah menguraikan asas-asas fundamental, penulis masuk ke bagian yang lebih konkret, yaitu anasir atau unsur-unsur hukum acara peradilan agama. Bagian ini berfungsi untuk menjelaskan "komponen-komponen pokok" yang membuat proses beracara di pengadilan agama bisa berjalan. Tanpa memahami anasir ini, hukum acara hanya akan menjadi teori tanpa makna praktis.

Penulis membagi pembahasan unsur-unsur hukum acara ke dalam beberapa elemen penting: perkara, para pihak, objek sengketa, aparat peradilan, dan simbol-simbol pengadilan.

a. Perkara

Perkara adalah inti dari hukum acara. Tanpa adanya perkara, hukum acara tidak akan pernah berfungsi, karena hukum acara pada dasarnya adalah mekanisme untuk menyelesaikan sengketa hukum. Dalam konteks peradilan agama, perkara-perkara yang ditangani berkaitan erat dengan bidang hukum keluarga dan perdata Islam, seperti perkawinan, perceraian, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, sedekah, serta ekonomi syariah.

Perkara di pengadilan agama biasanya muncul dari klaim salah satu pihak yang merasa haknya dilanggar. Misalnya, seorang istri mengajukan gugatan cerai karena merasa ditelantarkan, seorang anak menggugat hak waris yang tidak dibagi secara adil, atau seorang nasabah menggugat sengketa akad pembiayaan syariah. Setiap perkara ini memerlukan tata cara yang jelas sejak pendaftaran hingga putusan.

b. Para Pihak

Dalam hukum acara, dikenal adanya penggugat (pemohon) dan tergugat (termohon). Mereka adalah subjek hukum yang berhadapan di pengadilan. Hukum acara peradilan agama menekankan asas bahwa para pihak harus diperlakukan sama di depan hukum.

Selain penggugat dan tergugat, ada juga pihak ketiga yang berkepentingan. Misalnya, dalam perkara waris, selain ahli waris utama, bisa saja ada pihak lain yang merasa berkepentingan dengan harta peninggalan. Dalam kasus seperti ini, hukum acara memungkinkan adanya intervensi pihak ketiga untuk menjaga keadilan.

Kedudukan para pihak diatur dengan jelas. Penggugat aktif mengajukan perkara, sementara tergugat diberikan hak untuk membela diri. Hakim bertugas menengahi dan memutus berdasarkan fakta dan hukum yang berlaku.

c. Objek Sengketa atau Hak yang Dipersengketakan

Setiap perkara tentu berfokus pada sesuatu yang disengketakan. Dalam hukum acara peradilan agama, objek sengketa biasanya berupa hak-hak keperdataan yang diatur dalam hukum Islam dan perundang-undangan.

Contoh objek sengketa:

Hak suami-istri dalam rumah tangga (nafkah, harta bersama).

Hak orang tua dan anak dalam kasus hadhanah (pengasuhan).

Hak ahli waris dalam pembagian harta peninggalan.

Hak pihak dalam perjanjian akad syariah (misalnya murabahah atau ijarah).

Penulis menekankan bahwa objek sengketa harus jelas agar hakim dapat memberikan putusan yang pasti. Jika objek sengketa tidak jelas, maka gugatan bisa dianggap kabur (obscuur libel) dan tidak dapat diterima.

d. Hakim

Hakim adalah figur sentral dalam hukum acara. Dalam peradilan agama, hakim bukan hanya berfungsi sebagai penegak hukum, tetapi juga sebagai pelayan keadilan yang sarat dengan nilai moral.

Penulis menjelaskan bahwa hakim dalam peradilan agama memiliki kedudukan istimewa karena harus memahami dua hal sekaligus: hukum positif Indonesia dan hukum Islam. Hakim tidak boleh hanya terpaku pada teks undang-undang, tetapi juga harus menggali nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman.

Selain itu, hakim diwajibkan berusaha mendamaikan para pihak, terutama dalam perkara perceraian. Hal ini menunjukkan bahwa hakim di pengadilan agama tidak hanya berperan sebagai "penyelesai konflik", tetapi juga sebagai penjaga harmoni keluarga dan masyarakat.

e. Panitera dan Jurusita

Selain hakim, aparat lain yang berperan penting adalah panitera dan jurusita.

Panitera berfungsi sebagai pejabat administrasi yang mencatat semua jalannya perkara, menyusun berita acara, dan mengelola dokumen persidangan. Tanpa panitera, jalannya persidangan akan kehilangan bukti administratif.

Jurusita bertugas menyampaikan panggilan sidang, melaksanakan sita, dan menjalankan putusan pengadilan. Peran jurusita sangat penting karena keberhasilan eksekusi putusan bergantung pada pelaksanaannya di lapangan.

Penulis menekankan bahwa tanpa panitera dan jurusita, pengadilan tidak bisa menjalankan tugasnya secara efektif. Mereka adalah tangan kanan hakim yang membuat proses persidangan berjalan sesuai prosedur.

f. Simbol-Simbol Peradilan

Penulis juga menyinggung simbol-simbol yang ada di pengadilan agama, seperti palu hakim, toga, lambang negara, hingga tata ruang sidang. Simbol-simbol ini bukan sekadar hiasan, tetapi mencerminkan wibawa peradilan. Misalnya, pembacaan putusan harus dilakukan di ruang sidang terbuka dengan lambang Garuda di belakang majelis hakim, sebagai tanda bahwa putusan tersebut dikeluarkan atas nama negara.

g. Kesimpulan Unsur-Unsur

Dari seluruh unsur ini, penulis ingin menunjukkan bahwa hukum acara peradilan agama tidak berdiri di ruang hampa. Ia adalah sebuah sistem yang terdiri dari perkara, para pihak, objek sengketa, dan aparat peradilan yang saling berinteraksi. Tanpa unsur-unsur ini, hukum acara tidak akan pernah hidup.

Selain itu, penulis juga menekankan bahwa unsur-unsur ini bukan sekadar teknis, tetapi juga sarat makna. Misalnya, peran hakim yang bukan hanya menjalankan hukum, tetapi juga mengemban amanah keadilan. Atau peran jurusita yang memastikan hukum benar-benar menyentuh masyarakat. Semua ini menjadikan hukum acara peradilan agama sebagai sebuah sistem yang utuh dan bernyawa.

5. Konstruksi Hukum Acara

Setelah memaparkan asas dan unsur-unsurnya, penulis menguraikan tentang konstruksi hukum acara peradilan agama, yakni bagaimana seluruh aturan dan unsur itu bekerja dalam praktik nyata di pengadilan. Bagian ini sangat penting, terutama bagi mahasiswa hukum maupun calon praktisi, karena memberikan gambaran komprehensif tentang jalannya perkara sejak awal hingga akhir.

Konstruksi hukum acara ini dibagi ke dalam beberapa tahapan: pembuatan gugatan, pengajuan perkara, proses persidangan, pembuktian, putusan, upaya hukum, hingga eksekusi putusan.

a. Pembuatan Gugatan dan Permohonan

Tahap pertama dalam beracara di pengadilan adalah pembuatan gugatan atau permohonan. Penulis menjelaskan bahwa gugatan bisa berupa gugatan lisan atau tertulis. Gugatan lisan biasanya diajukan oleh pihak yang tidak mampu menulis, sedangkan gugatan tertulis umumnya digunakan oleh pihak yang didampingi kuasa hukum.

Isi gugatan minimal mencakup identitas para pihak, duduk perkara, dasar hukum, dan tuntutan (petitum). Jika gugatan tidak jelas, maka dapat dikategorikan sebagai gugatan kabur (obscuur libel) dan berpotensi tidak diterima. Selain gugatan, ada juga permohonan, misalnya permohonan itsbat nikah atau dispensasi kawin.

Penulis juga menguraikan kemungkinan adanya perubahan gugatan, penggabungan beberapa gugatan, bahkan pencabutan gugatan sebelum putusan dijatuhkan. Semua ini diatur dalam hukum acara agar proses beracara tetap adil dan transparan.

b. Pengajuan Perkara

Setelah gugatan atau permohonan disusun, tahap berikutnya adalah pengajuan perkara ke pengadilan agama. Proses ini dimulai dengan mendaftarkan perkara di kepaniteraan, membayar panjar biaya perkara, dan menerima nomor register.

Kemudian, Ketua Pengadilan menetapkan majelis hakim yang terdiri dari tiga orang hakim (satu ketua dan dua anggota), serta menunjuk panitera sidang. Setelah itu, hakim menetapkan hari sidang pertama dan jurusita bertugas menyampaikan panggilan kepada para pihak.

Penulis menekankan pentingnya prosedur ini karena menjadi dasar legalitas persidangan. Jika panggilan tidak sah (misalnya tidak sampai kepada pihak tergugat), maka sidang tidak dapat dilanjutkan.

c. Proses Persidangan

Persidangan adalah tahap paling sentral dalam hukum acara. Penulis membagi proses persidangan ke dalam beberapa fase:

Persiapan sidang -- hakim memastikan kehadiran para pihak, memeriksa kelengkapan berkas, dan memulai persidangan dengan pembacaan gugatan.

Jawaban tergugat -- pihak tergugat diberi kesempatan memberikan jawaban, baik berupa bantahan maupun eksepsi (misalnya gugatan dianggap tidak sah).

Replik dan duplik -- penggugat menanggapi jawaban tergugat (replik), lalu tergugat kembali memberikan tanggapan (duplik).

Upaya perdamaian -- hakim wajib berusaha mendamaikan para pihak, terutama dalam perkara perkawinan.

Pembuktian -- jika perdamaian gagal, sidang berlanjut pada pembuktian dengan menghadirkan saksi, surat, maupun alat bukti lainnya.

Proses persidangan ini, menurut penulis, adalah miniatur dari prinsip keadilan itu sendiri. Di sini semua asas hukum acara diuji: asas equality (kedua belah pihak didengar), asas cepat dan sederhana (agar sidang tidak bertele-tele), serta asas keadilan substantif (putusan tidak boleh menyimpang dari rasa keadilan masyarakat).

d. Pembuktian

Tahap pembuktian menempati posisi yang sangat penting. Penulis menjelaskan bahwa pembuktian bertujuan untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil yang diajukan para pihak.

Alat bukti yang diakui hukum acara perdata, termasuk di peradilan agama, antara lain:

Surat atau dokumen tertulis (akta otentik, akta di bawah tangan).

Saksi (minimal dua orang saksi sesuai asas unus testis nullus testis).

Pengakuan dari pihak lawan.

Sumpah yang diminta oleh hakim atau diajukan salah satu pihak.

Petunjuk atau bukti lain yang diperoleh dari persidangan.

Dalam perkara perdata agama, saksi sering menjadi alat bukti utama, misalnya dalam kasus perceraian, saksi tentang adanya perselisihan rumah tangga sangat menentukan.

e. Putusan Hakim

Setelah tahap pembuktian selesai, majelis hakim memasuki rapat musyawarah untuk menyusun putusan. Penulis menjelaskan bahwa putusan harus memuat bagian formal (identitas, duduk perkara), pertimbangan hukum, dan amar putusan.

Putusan dibacakan di sidang terbuka, kecuali untuk perkara perceraian yang dilakukan tertutup. Amar putusan harus jelas, tegas, dan dapat dilaksanakan. Hakim juga wajib memulai putusan dengan basmalah dan menutupnya dengan frasa "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".

Jenis putusan bisa berupa:

Putusan deklaratif (menyatakan sesuatu, misalnya sah atau tidak sahnya perkawinan).

Putusan konstitutif (menimbulkan keadaan hukum baru, misalnya perceraian).

Putusan kondemnatoir (menghukum salah satu pihak untuk melakukan sesuatu, misalnya membayar nafkah).

f. Upaya Hukum

Penulis menguraikan bahwa pihak yang tidak puas dengan putusan masih bisa menempuh upaya hukum. Ada dua macam:

Upaya hukum biasa -- berupa banding ke Pengadilan Tinggi Agama dan kasasi ke Mahkamah Agung.

Upaya hukum luar biasa -- berupa peninjauan kembali (PK) terhadap putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap.

Upaya hukum ini adalah bentuk perlindungan hak-hak para pihak agar tidak dirugikan oleh kesalahan hakim di tingkat pertama.

g. Pelaksanaan Putusan (Eksekusi)

Tahap terakhir adalah pelaksanaan putusan. Putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) harus dijalankan. Namun, tidak semua putusan bisa dieksekusi. Hanya putusan yang bersifat kondemnatoir yang dapat dilaksanakan.

Eksekusi bisa berupa:

Eksekusi pembayaran nafkah.

Eksekusi pembagian harta bersama.

Eksekusi pengosongan rumah atau tanah wakaf.

Eksekusi dilakukan oleh jurusita di bawah perintah Ketua Pengadilan. Jika pihak yang kalah menolak melaksanakan putusan, eksekusi dapat dilakukan dengan bantuan aparat keamanan.

6. Prinsip Hukum Acara Islam dalam Risalah Qadha Umar bin Khattab

Salah satu bagian yang membuat buku ini berbeda dari literatur hukum acara lainnya adalah pembahasan mengenai prinsip hukum acara Islam yang dirujuk dari Risalah Qadha Umar bin Khattab. Jika bab-bab sebelumnya lebih banyak berbicara mengenai hukum acara perdata yang diadopsi ke peradilan agama Indonesia, maka pada bab terakhir ini penulis mengajak pembaca kembali kepada sumber normatif Islam.

Umar bin Khattab, khalifah kedua dari Khulafaur Rasyidin, dikenal sebagai sosok pemimpin yang tegas sekaligus adil. Dalam sejarah peradilan Islam, Umar tidak hanya menjalankan hukum, tetapi juga meletakkan prinsip-prinsip dasar dalam menjalankan peradilan. Risalah Qadha yang dinisbatkan kepada beliau adalah semacam pedoman bagi para hakim di zamannya, yang isinya masih sangat relevan untuk dijadikan acuan hingga kini.

a. Hakim sebagai Pemegang Amanah

Risalah Umar menekankan bahwa hakim adalah pemegang amanah dari Allah untuk menegakkan keadilan. Seorang hakim tidak boleh memutuskan perkara berdasarkan hawa nafsu atau kepentingan pribadi. Hakim harus sadar bahwa setiap keputusannya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

Penulis menekankan aspek spiritualitas ini sebagai sesuatu yang jarang ditemukan dalam hukum acara positif. Jika undang-undang modern hanya menekankan kepastian hukum, Umar menekankan dimensi pertanggungjawaban moral dan ukhrawi seorang hakim.

b. Persamaan Kedudukan di Hadapan Hukum

Salah satu prinsip utama dalam Risalah Qadha Umar adalah equality before the law. Umar mengingatkan hakim agar tidak membeda-bedakan pihak yang berperkara, baik kaya maupun miskin, bangsawan maupun rakyat jelata. Hakim tidak boleh bersikap lebih ramah kepada pihak yang kaya atau berpengaruh, dan tidak boleh merendahkan pihak yang miskin.

Prinsip ini sejalan dengan asas hukum acara modern, tetapi penekanan Umar lebih menyoroti aspek moral: seorang hakim yang condong kepada salah satu pihak telah berkhianat kepada Allah.

c. Kehati-hatian dalam Memutuskan

Umar mengingatkan bahwa putusan hakim bersifat final bagi para pihak, sehingga hakim harus berhati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam memutuskan perkara. Ia menganjurkan hakim untuk mendengarkan semua bukti dengan teliti, memberi kesempatan yang sama kepada para pihak, dan tidak terburu-buru menyimpulkan.

Prinsip ini sejalan dengan asas modern bahwa putusan harus disertai alasan hukum yang jelas. Namun, dalam tradisi Islam, ada tambahan aspek moral: seorang hakim yang salah karena tergesa-gesa akan menanggung akibatnya di hadapan Allah.

d. Larangan Suap dan Intervensi

Dalam risalahnya, Umar dengan tegas melarang hakim menerima suap, hadiah, atau pengaruh dari pihak manapun. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya Islam menjaga independensi hakim. Bahkan, Umar sendiri pernah menolak hadiah dari seorang pejabat karena khawatir akan memengaruhi netralitasnya.

Prinsip ini sejalan dengan asas independensi hakim dalam hukum acara perdata. Namun, risalah Umar lebih menekankan aspek etika personal: integritas hakim adalah pondasi utama tegaknya keadilan.

e. Keadilan sebagai Tujuan Utama

Jika hukum acara positif Indonesia menekankan kepastian hukum, maka dalam Risalah Umar, keadilan substantif adalah tujuan utama. Umar mengingatkan bahwa hakim harus menegakkan hukum dengan adil, meskipun keadilan itu merugikan pihak yang kuat atau menguntungkan pihak yang lemah.

Dalam salah satu riwayat, Umar menegur seorang hakim karena terlihat condong memberi ruang lebih kepada orang kaya. Umar menekankan bahwa sikap itu akan mencederai rasa keadilan dan meruntuhkan wibawa peradilan.

f. Relevansi dengan Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia

Penulis dengan cermat mengaitkan prinsip-prinsip Umar ini dengan praktik peradilan agama di Indonesia. Misalnya:

Persamaan kedudukan Sejalan dengan asas equality before the law dalam UU Kekuasaan Kehakiman.

Kehati-hatian dalam memutuskan Sejalan dengan Pasal 50 UU Nomor 48 Tahun 2009 yang mewajibkan hakim memberi pertimbangan hukum dalam setiap putusan.

Larangan suap Sejalan dengan prinsip integritas hakim yang ditegaskan dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).

Keadilan sebagai tujuan Menjadi semangat dasar pengadilan agama dalam menyelesaikan perkara keluarga, terutama perceraian dan waris, yang sering kali sarat emosi dan kepentingan.

Dengan cara ini, penulis menunjukkan bahwa hukum acara peradilan agama di Indonesia tidak berdiri sendiri, tetapi berakar pada prinsip-prinsip universal Islam.

g. Nilai Tambah dari Perspektif Risalah Umar

Yang menarik, penulis tidak berhenti pada aspek formal, tetapi mengajak pembaca untuk memahami dimensi normatif-transendental hukum acara. Risalah Umar menjadi pengingat bahwa hukum acara bukan sekadar mekanisme prosedural, tetapi juga sarana menegakkan nilai keadilan, kejujuran, kesetaraan, dan tanggung jawab moral.

Dengan kata lain, hukum acara peradilan agama di Indonesia bukan hanya law in books, melainkan juga law in values.

7. Lampiran

Buku ini dilengkapi dengan berbagai lampiran yang sangat berguna, seperti contoh surat permohonan cerai talak, contoh putusan cerai, naskah undang-undang, peraturan pemerintah, hingga kompilasi hukum Islam. Dengan adanya lampiran ini, mahasiswa maupun praktisi hukum memiliki referensi konkret tentang dokumen yang biasa digunakan dalam praktik peradilan agama.

Analisis Kritis

Kelebihan Buku

Komprehensif -- Buku ini mencakup seluruh aspek penting hukum acara peradilan agama, dari teori, sumber hukum, asas, hingga praktik persidangan.

Integratif -- Penulis menghubungkan hukum acara positif di Indonesia dengan prinsip hukum Islam klasik, sehingga mahasiswa tidak kehilangan akar normatifnya.

Praktis -- Adanya contoh dokumen hukum membuat buku ini lebih dari sekadar teori, tetapi juga bisa dijadikan panduan teknis.

Bahasa jelas -- Penyusunan bahasa relatif lugas, memudahkan mahasiswa memahami topik yang cukup berat.

Kelemahan Buku

Kurang banyak studi kasus kontemporer -- Buku ini lebih fokus pada teori dan prosedur formal, sehingga terasa kurang mengangkat dinamika kasus mutakhir yang sering muncul di pengadilan agama, misalnya perkara ekonomi syariah.

Minim perbandingan internasional -- Meskipun cukup komprehensif, pembahasan tidak banyak mengulas perbandingan dengan sistem peradilan agama di negara lain.

Bahasa akademik padat -- Bagi pembaca awam di luar bidang hukum, beberapa bagian terasa terlalu teknis.

Kontribusi terhadap Kajian Hukum dan Fikih

Buku ini memberikan kontribusi besar dalam pendidikan hukum Islam di Indonesia. Pertama, ia membantu mahasiswa memahami secara utuh peran hukum acara sebagai instrumen penegakan hukum materiil. Kedua, buku ini memperlihatkan kesinambungan antara hukum acara modern dengan prinsip keadilan Islam klasik. Ketiga, buku ini dapat menjadi rujukan praktis dalam dunia peradilan, karena memuat contoh dokumen resmi yang sering digunakan hakim, panitera, maupun advokat.

Kesimpulan

Secara keseluruhan, buku Hukum Acara Peradilan Agama Plus Prinsip Hukum Acara Islam dalam Risalah Qadha Umar bin Khattab adalah karya penting yang layak dijadikan referensi utama dalam studi hukum acara peradilan agama. Dengan pendekatan yang sistematis, komprehensif, dan integratif, buku ini berhasil menjembatani dunia akademik dengan praktik peradilan.

Meskipun masih memiliki keterbatasan, terutama dalam aspek perbandingan internasional dan kajian kasus aktual, nilai lebihnya tetap dominan. Buku ini bermanfaat tidak hanya bagi mahasiswa dan dosen, tetapi juga bagi praktisi hukum yang ingin memahami secara lebih baik mekanisme peradilan agama di Indonesia.

Dengan demikian, buku karya Dr. Hj. Aah Tsamrotul Fuadah ini tidak hanya memperkaya literatur hukum Islam, tetapi juga memperkuat identitas peradilan agama sebagai lembaga yang menegakkan hukum dengan berlandaskan prinsip keadilan, kemanusiaan, dan nilai-nilai ketuhanan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun