5. Konstruksi Hukum Acara
Setelah memaparkan asas dan unsur-unsurnya, penulis menguraikan tentang konstruksi hukum acara peradilan agama, yakni bagaimana seluruh aturan dan unsur itu bekerja dalam praktik nyata di pengadilan. Bagian ini sangat penting, terutama bagi mahasiswa hukum maupun calon praktisi, karena memberikan gambaran komprehensif tentang jalannya perkara sejak awal hingga akhir.
Konstruksi hukum acara ini dibagi ke dalam beberapa tahapan: pembuatan gugatan, pengajuan perkara, proses persidangan, pembuktian, putusan, upaya hukum, hingga eksekusi putusan.
a. Pembuatan Gugatan dan Permohonan
Tahap pertama dalam beracara di pengadilan adalah pembuatan gugatan atau permohonan. Penulis menjelaskan bahwa gugatan bisa berupa gugatan lisan atau tertulis. Gugatan lisan biasanya diajukan oleh pihak yang tidak mampu menulis, sedangkan gugatan tertulis umumnya digunakan oleh pihak yang didampingi kuasa hukum.
Isi gugatan minimal mencakup identitas para pihak, duduk perkara, dasar hukum, dan tuntutan (petitum). Jika gugatan tidak jelas, maka dapat dikategorikan sebagai gugatan kabur (obscuur libel) dan berpotensi tidak diterima. Selain gugatan, ada juga permohonan, misalnya permohonan itsbat nikah atau dispensasi kawin.
Penulis juga menguraikan kemungkinan adanya perubahan gugatan, penggabungan beberapa gugatan, bahkan pencabutan gugatan sebelum putusan dijatuhkan. Semua ini diatur dalam hukum acara agar proses beracara tetap adil dan transparan.
b. Pengajuan Perkara
Setelah gugatan atau permohonan disusun, tahap berikutnya adalah pengajuan perkara ke pengadilan agama. Proses ini dimulai dengan mendaftarkan perkara di kepaniteraan, membayar panjar biaya perkara, dan menerima nomor register.
Kemudian, Ketua Pengadilan menetapkan majelis hakim yang terdiri dari tiga orang hakim (satu ketua dan dua anggota), serta menunjuk panitera sidang. Setelah itu, hakim menetapkan hari sidang pertama dan jurusita bertugas menyampaikan panggilan kepada para pihak.
Penulis menekankan pentingnya prosedur ini karena menjadi dasar legalitas persidangan. Jika panggilan tidak sah (misalnya tidak sampai kepada pihak tergugat), maka sidang tidak dapat dilanjutkan.