Untuk memperkuat definisi, penulis menyajikan pandangan sejumlah ahli hukum. Misalnya, Wirjono Prodjodikoro mendefinisikan hukum acara perdata sebagai rangkaian aturan yang mengatur bagaimana seseorang harus bertindak di hadapan pengadilan, serta bagaimana pengadilan bertindak dalam menjalankan hukum perdata. Sudikno Mertokusumo melihatnya sebagai aturan untuk menjamin ditaatinya hukum perdata materiil. Sementara Supomo menyebutnya sebagai sarana hakim untuk mempertahankan tata hukum perdata, dan Lilik Mulyadi menegaskan bahwa hukum acara perdata mengatur proses sejak pengajuan perkara, pemeriksaan, hingga pelaksanaan putusan hakim.
Dari berbagai definisi ini, penulis merangkum bahwa hukum acara peradilan agama adalah tata aturan yang memuat cara orang bertindak di hadapan pengadilan agama, serta cara pengadilan agama bertindak untuk menegakkan hukum positif Islam yang menjadi dasar hukum materiil bagi perkara di bawah kewenangannya.
b. Sifat Hukum Acara Peradilan Agama
Penulis juga menyoroti sifat-sifat hukum acara perdata yang otomatis melekat pada hukum acara peradilan agama, antara lain:
Bersifat memaksa (dwingend recht), artinya aturan hukum acara tidak bisa dikesampingkan oleh para pihak. Misalnya, prosedur pemanggilan, tata tertib persidangan, atau mekanisme banding harus dipatuhi.
Penggugat bersifat aktif, karena perkara hanya bisa berjalan bila ada pihak yang menggugat. Hakim tidak bisa bertindak tanpa adanya gugatan yang diajukan.
Sederhana dalam prosedur, meskipun tetap menjaga kepastian hukum dan formalitas. Prinsip kesederhanaan dimaksudkan agar proses persidangan dapat dipahami oleh masyarakat awam tanpa mengorbankan nilai keadilan.
Dari sifat-sifat ini terlihat bahwa hukum acara peradilan agama merupakan sarana untuk menjaga keseimbangan antara kepastian hukum, kemudahan beracara, dan keadilan bagi para pihak.
c. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama
Bagian ini merupakan salah satu bagian terpenting dalam buku karena memuat dasar normatif dari hukum acara yang digunakan di pengadilan agama. Penulis menyebutkan berbagai sumber hukum acara, baik dari hukum nasional maupun dari hukum Islam klasik.
Undang-Undang Peradilan Agama
UU Nomor 7 Tahun 1989 menjadi tonggak utama berdirinya peradilan agama sebagai lembaga formal dalam sistem hukum nasional. UU ini kemudian diamandemen dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009. Di dalamnya diatur kewenangan peradilan agama, sumber hukum acara, serta ketentuan khusus mengenai proses persidangan, terutama perkara perceraian.