Mohon tunggu...
Apoteker Ilham Hidayat
Apoteker Ilham Hidayat Mohon Tunggu... Apoteker/Founder Komunitas AI Farmasi - PharmaGrantha.AI/Rindukelana Senja

AI Enhanced Pharmacist

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Resep Rahasia Apoteker - Kisah Dibalik Meja Racik (Bab 1)

4 Agustus 2025   09:57 Diperbarui: 4 Agustus 2025   09:57 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Resep Rahasia Apoteker - Kisah Dibalik Meja Racik

DISCLAIMER

Karya ini adalah karya fiksi. Nama tokoh, tempat, institusi, dan peristiwa dalam cerita ini sepenuhnya merupakan hasil imajinasi penulis. Jika terdapat kemiripan dengan kejadian nyata, nama individu, atau institusi tertentu, itu adalah kebetulan yang tidak disengaja.

Meskipun cerita ini mengangkat isu-isu yang relevan dalam dunia farmasi dan kesehatan, isi cerita bukan merupakan representasi resmi dari kebijakan, praktik medis, atau regulasi tertentu. Semua pandangan dan opini yang disampaikan dalam buku ini sepenuhnya merupakan perspektif fiksi yang bertujuan untuk menggambarkan dinamika profesi apoteker secara naratif.

Cerita ini tidak dimaksudkan sebagai referensi medis atau hukum. Untuk informasi yang valid mengenai praktik farmasi dan kesehatan, pembaca disarankan untuk merujuk pada sumber resmi, regulasi yang berlaku, atau berkonsultasi dengan tenaga kesehatan yang berwenang.

Prolog 

-- Seragam Putih dan Bayangan Harapan --

Aku masih ingat hari itu.

Hari ketika jas putih pertama kali kukenakan di tubuhku. Bukan jas dokter, bukan pula jas laboran. Ini jas apoteker---yang katanya, simbol keilmuan, integritas, dan komitmen terhadap kesehatan masyarakat.

Semua orang tersenyum. Kamera berkilat. Bunga-bunga diberikan.

Di podium, dosen favoritku berkata:

"Kalian bukan sekadar pengambil obat dari rak. Kalian adalah penjaga keselamatan pasien. Kalian akan jadi pilar kesehatan masyarakat. Gunakan ilmu kalian, dan jangan biarkan siapa pun mengecilkannya."

Aku percaya.

Tapi di luar ruang pelantikan itu, realitas menunggu---tajam, keras, dan penuh kompromi.

Dan di situlah ceritaku dimulai.

Bab 1 - Selamat Datang di Meja Racik, Nak!

Arya menghirup napas dalam-dalam. Hari pertama bekerja di apotek. Akhirnya! Setelah bertahun-tahun jungkir balik menghadapi ujian farmakologi, dihantui ketakutan salah hitung dosis, dan dipaksa menghafal ribuan nama obat, inilah saatnya: menjadi seorang apoteker sungguhan!

Dia membayangkan dirinya berdiri gagah di balik meja racik, mengenakan jas putih bersih, memberikan edukasi obat dengan suara berwibawa, sementara pasien mendengarkan dengan penuh perhatian. Hari pertama akan menjadi momentum penting. Semua yang ia pelajari akhirnya bisa dipraktikkan!

Itu sebelum Arya bertemu pasien pertamanya.

"Dek, kasih obat pilek yang paling keras dong!"

Seorang bapak-bapak paruh baya dengan perut buncit menyodorkan uang seratus ribuan sambil menatap Arya penuh harap. Matanya merah, hidungnya meler, dan sepertinya dia sudah siap berperang melawan flu.

Arya tersenyum. "Baik, Pak. Saya sarankan dekongestan seperti Pseudoephedrine atau Antihistamin untuk meringankan gejala. Tapi apakah bapak ada riwayat tekanan darah tinggi?"

Bapak itu menatap Arya seperti melihat alien. "Yaelah, Dek, kasih yang paling keras aja. Yang bikin enakan seketika! Gak perlu banyak tanya."

Arya menelan ludah. Ini bukan yang dia pelajari di kuliah. Di mana bagian edukasi pasien? Di mana rasa hormat terhadap ilmu farmasi?

Sebelum Arya bisa menjelaskan lebih lanjut, datang lagi seorang ibu-ibu muda dengan wajah panik.

"Mas, tolong! Anak saya sakit!"

"Baik, Bu, keluhannya apa?"

"Demam. Udah tiga hari. Saya butuh antibiotik!"

Arya mencoba tersenyum ramah. "Ibu, apakah sudah diperiksa dokter?"

Ibu itu mengerutkan kening. "Ngapain ke dokter? Saya selalu beli antibiotik di sini kalau anak saya demam.

Yang biasanya, ya. Cepet!"

Arya merasakan jantungnya berdegup. Ini tidak boleh. Ini salah. Ini bisa berkontribusi ke resistensi antibiotik! Dia membuka mulutnya untuk menjelaskan, tetapi sebelum sempat bicara, seorang asisten apotek tua menyenggolnya dari belakang.

"Udahlah, Mas. Kalau gak dijual, nanti pasien kabur ke tempat lain."

Arya ternganga. Jadi, ini yang namanya "dunia nyata"? Apoteker dihadapkan pada dilema moral setiap hari, antara edukasi yang benar dan pasien yang tidak mau repot?

Hari terus berjalan, dan Arya mulai menyadari aturan tak tertulis di apotek komunitas:

  • Pasien selalu benar (meskipun kadang mereka benar-benar salah).
  • Jika mereka tidak mendapatkan yang mereka inginkan, mereka akan mencari tempat lain.
  • Menjelaskan dengan sabar seringkali berakhir dengan "Udah, yang penting kasih obatnya aja."

Di tengah perenungan itu, seorang pria dengan wajah pucat dan tubuh gemetar

masuk ke apotek. Pria itu merogoh sakunya dan berkata dengan suara pelan.

"Mas, ada Tramadol gak? Yang 50 mg aja..."

Arya mengerutkan kening. "Maaf, Pak. Tramadol itu obat keras, butuh resep dokter."

Pria itu menyeringai. "Aduh, Mas, saya langganan di sini. Dulu gampang. Bisa, kan?"

Arya melirik asisten apotek di belakang. Orang itu hanya mengangkat bahu, seolah berkata, "Keputusan di tanganmu, Nak."

Arya merasakan dunia farmasi tidak sehitam putih seperti di kampus.

Malamnya, Arya pulang dengan perasaan campur aduk.

Dia melihat dirinya di cermin, jas putihnya masih rapi, tapi pikirannya berantakan.

"Ini baru hari pertama. Bagaimana dengan besok? Bagaimana dengan lima tahun ke depan?"

Dalam hati, dia tahu:

Apoteker tidak hanya menjual obat. Mereka bertarung setiap hari. Dengan regulasi. Dengan pasien. Dengan hati nurani.

Catatan Meja Racik:

Realita pertama sebagai apoteker bukan tentang racikan obat, tapi racikan sabar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun