"Mas, tolong! Anak saya sakit!"
"Baik, Bu, keluhannya apa?"
"Demam. Udah tiga hari. Saya butuh antibiotik!"
Arya mencoba tersenyum ramah. "Ibu, apakah sudah diperiksa dokter?"
Ibu itu mengerutkan kening. "Ngapain ke dokter? Saya selalu beli antibiotik di sini kalau anak saya demam.
Yang biasanya, ya. Cepet!"
Arya merasakan jantungnya berdegup. Ini tidak boleh. Ini salah. Ini bisa berkontribusi ke resistensi antibiotik! Dia membuka mulutnya untuk menjelaskan, tetapi sebelum sempat bicara, seorang asisten apotek tua menyenggolnya dari belakang.
"Udahlah, Mas. Kalau gak dijual, nanti pasien kabur ke tempat lain."
Arya ternganga. Jadi, ini yang namanya "dunia nyata"? Apoteker dihadapkan pada dilema moral setiap hari, antara edukasi yang benar dan pasien yang tidak mau repot?
Hari terus berjalan, dan Arya mulai menyadari aturan tak tertulis di apotek komunitas:
- Pasien selalu benar (meskipun kadang mereka benar-benar salah).
- Jika mereka tidak mendapatkan yang mereka inginkan, mereka akan mencari tempat lain.
- Menjelaskan dengan sabar seringkali berakhir dengan "Udah, yang penting kasih obatnya aja."
Di tengah perenungan itu, seorang pria dengan wajah pucat dan tubuh gemetar