Aku pernah bicara tentang keadilan,
tentang tangan yang mengayun pedang,
tentang janji yang dipahat di batu,
lalu dihapus hujan tanpa sempat dibaca.
Tapi siapakah yang mau dengar?
Kita lebih senang bicara tentang kemenangan,
seraya menyanyikan lagu-lagu murahan tentang takhta
yang tak pernah terguling meskipun diserbu angin.
Kelak, katamu, darah akan mengisahkan
nama-nama yang ditelan gedung-gedung megah,
orang-orang yang dibakar dalam pidato,
lantas dimuntahkan kembali sebagai pujian.
Selanjutnya di sepanjang lorong sunyi, Â
kutukan tumbuh membentuk akar yang menjalar
ke meja-meja perjamuan, ke piala-piala emas berisi serapah.
Tapi mereka, tetap saja bersulang menenggak doa
dengan kaki berlutut, lalu tertawa.
Kini, di sudut-sudut kota, di jalan-jalan sepi,
di tiap tikungan yang dihuni iblis dan peri,
orang-orang masih berbisik, menyebut kisah-kisah terlarang,
menulis sejarah di tembok yang retak, serupa mural yang sakral.
Menunggu kebenaran bisa berdiri,
tanpa takut dipenggal lagi.
Blora, 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI